Abstraksi
Sesungguhnya, kekuasaan merupakan daya (impulse) yang berisi dua, yaitu di satu sisi daya untuk menguasai dan di sisi lain daya untuk dikuasai (Bertrand Russel, 1938, 1992:7). Kekuasaan merupakan isu yang menarik untuk dikaji, karena seperti ikan berenang di dalam air, ia tidak menyadari bahwa ia berada dalam air, demikian juga manusia, ia menggunakan kekuasaan untuk mencapai apa yang dikehendaki tanpa memahami ‘binatang’ apa sesungguhnya Kekuasaan itu.
Kekuasaan, baik yang bersifat individual (in the state of human nature) maupun kelembagaan sebagai kekuasaan pada organisasi dan Negara dalam bentuk otoritas legal (wewenang) atau sovereinitas tidak selamanya membawa kesejahteraan, bahkan tidak sedikit yang menimbulkan kesengsaraan, sehingga kekuasaan perlu dibatasi, serta dijauhkan dari kelaliman manusia.
Beberapa argumen mengenai Kekuasaan menjadi rujukan terbentuknya Kekuasaan politik yang diharapkan membantu menganalisa jalannya proses demokratisasi, penyelenggaraan Konstitusi NKRI, pembagian Kekuasaan politik di Indonesia menurut paham Trias Politika, serta proses pemilihan Presiden yang kesemuanya perlu dicermati dan diluruskan.
Kata kunci: Kekuasaan, Negara, Kekuasaan politik, Kekuasaan dimandatkan, Kekuasaan soverein, otoritas legal,Soverein, Kontrak Sosial, Konstitusi
1. Pendahuluan
Ketika para perintis Kemerdekaan Indonesia merumuskan dasar negara, Pancasila, dan konstitusinya, Undang-Undang Dasar 1945, pertimbangan mereka didukung oleh semangat kemanusiaan yang adil dan beradab dan etika politik (Magnis-Suseno:1992:138). Bentuk Negara yang dianggap akan membawa Bangsa Indonesia kepada cita-cita Proklamasi Kemerdekaan haruslah Republik yang berkedaulatan Rakyat, karena hanya Republiklah yang akan memberikan kehidupan demokratis. Demokrasi merupakan operasionalisasi kedaulatan rakyat. (ibid)
Dalam kurun waktu 64 tahun semenjak diundangkan, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) telah mengalami amandemen sebanyak empat kali. Sebuah prestasi luar biasa bila dibandingkan dengan Konstitusi Amerika Serikat yang berusia lebih dari 200 tahun, dan baru mengalami amandemen sebanyak 20 kali. Yang menjadi pertanyaan adalah, 1) mengapa setelah mengalami amandemen yang dilaksanakan oleh para Reformator 1998, UUD 45 mengalami perubahan signifikan? Padahal, amanah yang ditinggalkan para pendiri Republik Indonesia adalah perlunya UUD 45 disempurnakan. Akibatnya, konstitusi Negara Republik Indonesia tidak lagi memiliki jiwa yang mencerminkan jati diri Bangsa Indonesia yang dipahami sepenuhnya oleh para perumus tahun 1945 sebagai masyarakat kolektif atau masyarakat musyawarah mufakat. Kondisi ini berdampak pada struktur Tata Negara Republik Indonesia dan pelbagai putusan Kebijakan Publik pemerintahan Indonesia. 2) Dengan kondisi demikian, dapatkah cita-cita Proklamasi 1945 terwujud?
UUD 45 dianggap memberikan kewenangan berlebihan kepada Presiden Republik Indonesia, karena memposisikannya sebagai kepala Negara dan sekaligus sebagai kepala Pemerintahan. Oleh karena itu, agar sesuai dengan era Reformasi, UUD 45 perlu diubah dengan tujuan agar terjadi keseimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga pemerintahan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Selain itu, beberapa TAP MPR dirasakan meninggalkan stigma yang perlu dihapus. Untuk itu, tidak ada jalan lain selain menghilangkan peran dan fungsi MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sebagai lembaga tertinggi Negara dan menggantikannya dengan peran dan fungsi baru sebagai joint session DPR dan DPD. Artinya, peran dan fungsi MPR yang mewakili kekuasaan Negara berubah menjadi majelis permusyawaratan DPR dan DPD, yang mewakili kepentingan Rakyat. Hal ini memberi kesan bahwa perubahan yang dilakukan atas UUD 45 tidak memperhitungkan peran dan fungsi MPR dalam kaitannya dengan hakikat Negara, sebagai organisasi yang diberi kekuasaan oleh Musyawarah dan Mufakat Rakyat (para pendiri Negara Republik Indonesia).
Sebelum amandemen, UUD 45 meletakkan peran dan fungsi MPR sebagai wakil Negara untuk seterusnya memberikan pelimpahan kewenangan kekuasaan Negara tersebut kepada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (otoritas pemerintahan) yang sekaligus juga Kepala Negara (otoritas kenegaraan). Artinya, Presiden Republik Indonesia adalah mandataris MPR yang mewakili kekuasaan Negara. Dalam perkuliahan tentang Pancasila, Bung Karno menyampaikan, bahwa Negara adalah sebuah organisasi Kekuasaan (Maagstaat). (Sukarno:1958:27) Selanjutnya dikatakan, bahwa para pendiri Republik Indonesia bermusyawarah bermufakat untuk meletakkan organisasi Kekuasaan yang baru itu di atas sebuah ’meja statis’ sebagai sarana pemersatu agar Bangsa Indonesia berjiwa satu, dan sebagai ’Leidstar’ sebagai sarana dinamis, yang memberikan arah dan tujuan guna mencapai cita-cita bersama. (ibid) Dengan Pancasila sebagai dasar Negara diharapkan agar organisasi Negara tidak jatuh di tangan pemimpin yang bukan berjiwa Indonesia. Dengan Pancasila sebagai ’meja statis’ dan ’Leidstar’ dinamis, Negara Republik Indonesia sebagai organisasi Kekuasaan diharapkan tidak dapat dijadikan sekedar alat kekuasaan oleh golongan-golongan tertentu.
2. Kekuasaan Negara
Interaksi sosial manusia diwarnai dan dipengaruhi oleh Kekuasaan yang menurut Bertrand Russel merupakan daya (impulse) bersisi dua, yaitu daya untuk menguasai dan daya untuk dikuasai (Bertrand Russel, 1938, 1992:7). Kedua jenis daya tersebut menurut Russel bermuara pada kehendak manusia. Ada kehendak untuk berkuasa dan ada kehendak untuk dikuasai. Persoalan menguasai-dikuasai tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui semacam ‘konvensi’. Dalam bukunya “Power” (1938, 1995) Russel menyampaikan pandangan tentang beberapa fenomena kekuasaan: 1) yang bersifat tradisi, priestly/kingly power (op.cit.: 35-56), yaitu kekuasaan berbasis kultur; yang terjadi pada hubungan antara Pendeta dengan umatnya atau pada hubungan antara Raja dengan kawulonya; 2) bersifat sepihak atau naked power (op.cit.: 57-71), yang terjadi pada hubungan bersifat alamiah, dimana yang berkuasa memiliki kekuatan/kesaktian; pada hubungan biologis seperti pada ayah /ibu dan anak, dan seperti penguasaan terhadap hewan piaraan. 3) yang bersifat alternatif atau revolutionary power (op.cit.: 72-81) seperti pada berlakunya kekuasaan baru yang dianggap lebih baik, misalnya yang terjadi di Eropa pada awal Era Kristiani, Era Reformasi, Era Revolusi perancis dan Nasionalisme, Era Sosialisme dan Revolusi Rusia ; 4) yang bersifat kondisional atau economic power (op.cit.: 82-92), yaitu masuknya hal-hal baru, seperti gaya hidup baru, mode busana mutakhir dari perancang terkenal. Namun dalam kenyataan, berbagai bentuk ‘konvensi’ tersebut berlangsung tumpang tindih yang pada umumnya berakhir pada naked power.
Merujuk kepada jenis Kekuasaan di atas, ada Kekuasaan individual yang berlangsung pada seorang individu, misalnya pada Raja, pada Pendeta, pada seorang Bapak, pada pemilik hewan piaraan, dan seterusnya, dan Kekuasaan kelembagaan yang berlangsung dalam organisasi, misalnya pada organisasi Negara, pada organisasi tentara/militer, organisasi perusahaan, organisasi partai. Makalah ini membatasi diri pada persoalan Kekuasaan kelembagaan, yaitu Kekuasaan Negara sebagai lawan dari Kekuasaan Soverein.
Kekuasaan Negara merupakan reaksi terhadap Kekuasaan soverein, yang pada abad-abad sebelumnya berdiri dibelakang hegemoni kekudusan (Kontrak Sosial:1989:V). Pada zaman Kekudusan (abad pertengahan) tersebut, satu-satunya bentuk pemerintahan adalah Monarki. Kekuasaan soverein adalah Kekuasaan tunggal/individu yang dimiliki Raja tanpa mandat. Kuasa Kekudusan dirumuskan sebagai berikut:
Semua kekuasaan berasal dari Tuhan. Dialah yang mendelegasikan kekuasaannya kepada Raja. Monarki, dan pada waktu itu monarki absolut, adil dan sah, karena dikehendaki Tuhan. Raja adalah Monarki yang kekuasaannya diturunkan oleh Tuhan. (Kontrak Sosial: 1898:X)
Sebuah Kerajaan didirikan atas Kekuasaan soverein Raja, serta dengan kekuatannya menentukan sendiri wilayah kekuasaannya. Rakyat menyerahkan kebabasannya untuk tunduk pada Kekuasaan soverein Sang Raja. Sebagai gantinya mendapat ’perlindungan’ dari Kerajaan. Ketika zaman berubah ke zaman Pencerahan, kemudian ke zaman Reformasi (Eropah) (abad ke-16), timbul kebangkitan Kekuasaan Rakyat.
...mengingat manusia tidak mungkin menggerakkan kekuatan baru namun hanya dapat menyatukan dan mengarahkan kekuatan-kekuatan yang ada, mereka tidak mempunyai cara lain untuk melestarikan diri kecuali membentuk sejumlah kekuatan yang dapat mengalahkan hambatan itu, dengan jalan mengumpulkan, menggiatkan kekuatan-kekuatan itu melalui satu penggerak dan membuatnya bergerak bersama secara serasi. (Kontrak Sosial: 1989: 14)
Manusia harus memilih antara tetap bebas, tidak saling tergantung namun mati, dan bersatu untuk bertahan hidup dengan membangun masyarakat politis (societe civile) (ibid)
Berdirinya sebuah organisasi Negara mutlak perlu didukung oleh keberadaan wilayah, rakyat, konstitusi dan berdaulat. Rakyat yang mendukung berdirinya sebuah Negara, bukan kawanan manusia yang bercerai-berai, melainkan sebuah asosiasi masyarakat yang Berkehendak Umum dan merupakan bagian dari sebuah Korps Politik (Negara). Kehendak umum untuk bersedia hidup di bawah Kekuasaan Negara tercantum dalam sebuah pakta sosial yang dicapai melalui melalui musyawarah dan mufakat Rakyat.
Ada beberapa konsep tentang Negara sebagai organisasi, misalnya sebagai 1) organisasi Kebaikan Bersama, tokohnya Socrates (469-399 SM), Plato (429-347 SM), Arirtoteles (384-322 SM); 2) Organisasi Teokrasi, tokohnya Santo Agustinus (354-430), Ibn Abi Rabi’, Al Ghazali (1058-1111) ; 3) Organisasi Kekuasaan, tokohnya Nicollo Machiaveli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1645); 4) Organisasi Hukum, tokohnya Thomas Aquinas (1226-11274), John Lock (1632-1704), Montesquieu (1688-1755); 5) Organisasi Kedaulatan Rakyat, tokohnya Al-Mawardi (975-1059 M), Jean Jacquess Rousseau (1712-1778). (Deddy Ismatullah et al., 2006)
Negara sebagai organisasi kekuasaan dan sebagai korps politik/asosiasi politik tidak serta merta berjalan mulus, misalnya Kekuasaan Negara/otoritas pemerintahan ketika dipertentangkan dengan Pribadi/individu yang memiliki otonomi dan kebebasan. Apakah otoritas pemerintahan selalu berpihak kepada dengan Kehendak Umum?
Kebebasan (freedom) atau Kemerdekaan (liberty).
Kebebasan adalah keleluasan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan keinginan sendiri; atau dapat pula diartikan sebagai hak dan kemampuan manusia untuk menentukan sendiri apa yang menjadi pilihannya. (Supriatnoko:2008:107) Oleh karena itu, pentingnya Negara sebagai organisasi Hukum adalah untuk membatasi kewenangan Negara serta mengatur hak dan kewajiban Pribadi yang mengikatkan diri kepada Negara. Negara sebagai organisasi kedaulatan rakyat membutuhkan rumusan konstitusi dan susunan tata negara yang kondusif, agar penyelenggaraan Negara dapat berjalan maksimal. Dalam upaya mencermati Kekuasaan Negara di Republik Indonesia, makalah ini menyimak gagasan Thomas Hobbes (organisasi kekuasaan), John Lock (organisasi hukum) serta JJ. Rousseau (organisasi kedaulatan rakyat), utamanya gagasan Rousseau dalam Du Contrat Social (Kontrak Sosial:1762) dan sistem pemerintahan Negara lain yang mengaplikasikan sistem Presidensiil, misalnya Amerikat Serikat.
3. Masyarakat alami/politik, Sovereinitas, Kontrak Sosial
a. Thomas Hobbes (1588-1679)
Kekuasaan terdapat pada masyarakat politik, sementara kekuatan mendominasi masyarakat alamiah menurut Thomas Hobbes dalam Leviathan (abad ke-16). Selanjutnya dikatakan, bahwa manusia dalam status alamiahnya (man in the state of nature) cenderung berinsting hewani, sehingga untuk mencapai maksud tujuannya, manusia merupakan serigala bagi manusia lainnya, homo homini lupus, dan semua manusia cenderung memerangi semua, bellum omnium contra omnes. Untuk mengatasi kondisi alamiah tersebut, Hobbes berpendapat, perlunya masyarakat pra-politik diubah menjadi masyarakat politik dengan pakta sosial antar sesama anggota masyarakat (pactum subjectionis), bahwa dengan kesepakatan membentuk Negara, Rakyat menyerahkan semua hak alamiah mereka (sebelum adanya Negara), untuk diatur sepenuhnya oleh kekuasaan Negara. (Deddy Ismatullah et al.:2006: 64) Kontrak Sosial versi Hobbes memposisikan Penguasa sebagai ‘pengawas’ atau ‘jaminan’ yang berada di luar pakta tersebut, yang diharapkan menjamin Kontrak dapat terlaksana dan dihormati. (Kontrak Sosial:1989:XII) Meskipun masyarakat politik versi Hobbes berada pada kesederajatan dan kebebasan sama antara satu dengan lainnya, namun pakta sosial mereka tetap memposisikan Penguasa/Negara sebagai Monarki Absolut.
b. John Lock (1632-1704)
Sementara itu John Lock dalam Second Treaty of Civil Government (abad ke-16) mengatakan, bahwa masyarakat alamiah membentuk perkumpulan untuk membentuk sebuah permufakatan bersama dalam rangka saling memelihara keselamatan hidup dan kepemilikan harta.
Keadaan alamiah manusia merujuk pada keadaan manusia hidup dalam kedamaian, kebajikan, saling melindungi, penuh kebebasan, tak ada rasa takut, dan penuh kesetaraan. Manusia dalam keadaan alamiah pada dasarnya baik, selalu terobsesi untuk berdamai dan menciptakan perdamaian, saling menolong dan memiliki kemauan dan mengenal hubungan-hubungan sosial. (Magnis-Suseno:1992:220) Permufakatan itu sering disebut sebagai “Perjanjian Masyarakat” (Contract Social) yang memufakati (pactum unionis) dibentuknya “organisasi kekuasaan bersama”, yakni sebuah Negara. Berbeda dengan Hobbes, permufakatan pactum unionis Lock dilanjutkan dengan pactum subjectionis, yaitu pernyataan bersama untuk menyerahkan kekuasaan atas dirinya kepada Penguasa, kecuali hak-hak yang diberikan oleh alam (life, liberty, property) dan berjanji akan taat kepadanya (Penguasa).
Lock menyebut akal sebagai “Suara Tuhan” (reason is the voice of God). (Deddy Ismatullah et al.:2006:34) Lock sangat menekankan pentingnya kesamaan di antara sesama, sebab kesamaan di antara manusia merupakan hukum kodrat yang membedakan secara signifikan keadaan alamiah dan keadaan perang. (ibid) Dengan dipertahankannya unsur alamiah manusia: kebebasan dan hak azasi, Perjanjian Masyarakat versi John Lock tidak melahirkan kekuasaan absolut, melainkan kekuasaan terbatas (pembatasan kekuasaan Raja dimuat dalam konstitusi). (ibid) Pembatasan kekuasaan Raja terletak pada pactum subjectionis antara Rakyat dan Penguasa.
Sebuah perjanjian telah mengikat mereka yang membuat perjanjian dalam ikatan hukum. Kekuasaan Raja yang dibatasi oleh perjanjian masyarakat berarti sama denganb kekuasaan Raja dibatasi oleh hukum. (op.cit.:36)
Gagasan dan pemikiran Lock telah menempatkan dirinya sebagai pelopor ‘negara konstitusional’ dalam sejarah pemikiran politik Barat. (ibid). John Lock juga orang pertama yang mengemukakan pembatasan kekuasaan Negara untuk mencegah sentralisasi kekuasaan di tangan satu orang. Kekuasaan pemerintahan dibagi ke dalam tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, executif, federatif. (ibid) Dengan demikian John Lock merupakan orang pertama yang mengemukakan pemikian tentang pentingnya pemisahan kekuasaan menjadi tiga. Buah pikiran tersebut mengilhami Baron Montesquieu (1688-1755) yang pernah singgah dan tinggal di Inggris. (ibid)
Perjanjian Masyarakat versi Lock bagaimanapun baik itikadnya tetap saja merupakan ‘penyerahan diri’ Rakyat kepada Penguasa, meskipun dengan pembatasan kekuasaan Radja sekalipun. Baik kontrak dengan Penguasa versi Hobbes maupun Lock, karena sifatnya ‘penyerahan diri’ kepada Penguasa, baik sebagian maupun keseluruhan, menurut pandangan Rousseau secara hukum tidak berlaku. (Kontrak Sosial;1989:XIII)
c. Jean-Jacques Rousseau (1712-1778)
Kecewa dengan konsep Kontrak versi Hobbes serta versi Lock, Rousseau berpendapat dalam Du Contrat Social (1762), bahwa Kontrak dengan kondisi demikian justru menyempitkan posisi masyarakat politik. Ia kemudian berpendapat, bahwa Kontrak Sosial adalah musyawarah dan mufakat antara individu dan kolektivitas, dimana individu tersebut menjadi anggota dalam kolektivitas Pakta Sosial. Individu selama ada pakta, wajib mengorbankan kehendak sendiri pada Kehendak Umum (Kontrak Sosial:1989:XIV)
...dalam keadaan alami, individu bebas memiliki segala hak. Pada saat ia masuk ke dalam masyarakat politik, harus menyerahkan seluruh haknya: ia menerima untuk menyerahkan diri tanpa syarat pada wibawa politik. (Kontrak Sosial:1989:15)
Pakta itu melahirkan Rakyat, sesuatu yang lebih daripada penjumlahan bagian-bagiannya, yaitu individu. (Kontrak Sosial:1989:16)
Pakta Sosial dengan demikian merupakan Kekuasaan Rakyat atau Korps soverein yang tidak mungkin akan melakukan kesewenangan, seperti layaknya kesewenangan Kekuasaan Soverein seorang Raja. Adapun alasan yang disampaikannya adalah, bahwa Soverein/Kekuasaan Rakyat tidak akan pernah arbitrer. Keputusan yang diambil oleh Souverein adalah keputusan seluruh Rakyat, atau warga seluruhnya. Padahal Rakyat tidak pernah merusak dirinya sendiri. Kekuasaan itu, meskipun absolut, tidak mungkin menyimpang. (Kontrak Sosial:1989:18)
Dengan terdapatnya hubungan segitiga antara Souverain-Negara-individu, dimana sebagai anggota Souverain, individu/pribadi terikat kepada individu lainnya, sementara sebagai warga Kekuasaan Negara, individu terikat kepada Souverain, oleh karenanya individu terikat kepada kontrak yang dibuatnya sendiri. Ia terikat kepada formulasi paradoksal:
Kebebasan bukan lagi kemerdekaan dalam keadaan alami namun kebebasan konvensional yang diperoleh individu melalui kontrak. Patuh kepada Souverain adalah patuh kepada diri sendiri, jadi individu berada dalam keadaan bebas (otonomi). Dipaksa untuk patuh adalah sama dengan dipaksa untuk bebas. (Kontrak Sosial: 1989: 19)
Kontrak Sosial menghasilkan sebuah badan kesepakatan Musyawarah Mufakat. Menurut Rousseau, badan Musyawarah Mufakat tersebut merupakan sebuah korps moral sekaligus korps politik, yang merupakan suatu kesatuan, keakuan bersama dalam hidupnya dan kehendaknya. Negara yang diciptakan Kontrak Sosial merupakan korps politik pasif (Kontrak Sosial: 1989:16), sementara Kedaulatan Rakyat /Soverein merupakan korps politik aktif. Korps moral yang merupakan kesatuan, keakuan bersama dalam hidupnya dan kehendaknya itulah yang dimaksudkan Rousseau dengan Republik. (ibid)
Pakta Sosial Rousseau berbunyi:
Masing-masing individu menyerahkan diri dan seluruh kekuasaan untuk kepentingan bersama, di bawah pimpinan tertinggi, yaitu kehendak umum, dan di dalam korps kita menerima setiap anggota sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan. (ibid)
Di dalam akta asosiasi, setiap individu terikat pada individu lainnya, maka tidak bisa tidak, setiap individu akan bertindak sesuai dengan kehendak bersama (kehendak umum). Siapa yang menjamin anggota kelompok tersebut setia pada Korpsnya? Rousseau percaya, bahwa anggota Korps tidak akan mengkhianati kelompoknya, karena berarti ia mengkhianati dirinya sendiri.
Sebagai entitas nalar [Negara] bukan manusia, ia akan menikmati haknya sebagai ‘warga’ dan tidak menghiraukan kewajibannya sebagai ‘subyek’ [hukum]. Seandainya ketakadilan ini berkembang, korps politik akan hancur. Jadi, agar pakta sosial tidak menjadi kumpulan kaidah yang sia-sia, harus secara implisit mencakup keterikatan itu, satu-satunya yang dapat memberikan kekuatan kepada yang lain, agar siapapun yang menolak untuk patuh pada kehendak umum akan berhadapan dengan seluruh korps, artinya tidak lain daripada memaksanya untuk bebas. (Kontrak Sosial :1989 : 19)
Dengan adanya Kontrak Sosial, individu tidak teralienasi dari dirinya ketika ia terikat pada Kehendak Umum yang di dalamnya terdapat kehendaknya sendiri. Ia juga tidak berada dalam situasi dikotomis dengan Kekuasaan Negara, karena ia adalah bagian dari Sovereinitas yang memegang mandat Kekuasaan Negara. Dengan demikian, Kontrak Sosial memposisikan individu dalam keterikatan dan sekaligus kebebasan. Menafikan kepatuhan kepada Kehendak Umum justru menghilangkan kebebasan, karena ia menjadi terikat kepada pemenuhan kewajiban yang tidak/belum dilaksanakan.
4. Kekuasaan Soverein versi Jawa
Berbeda dengan Kekuasaan versi Barat, yang senantiasa di letakkan dalam konteks dikotomis, yakni memposisikan orang lain sebagai “the other”, Kekuasaan versi Nusantara, misalnya, Kekuasaan Jawa versi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat diletakkan pada konteks kebersamaan etis dan bermuatan nilai adat dan budaya. Kedua unsur nilai peradaban tersebut sangat mempengaruhi bentuk dan penyelenggaraan Kekuasaan soverein Raja versi Kekuasaan Jawa. Kekuasaan Jawa versi Ngayogyakarta Hadiningrat memuat nilai-nilai sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh, yang memuat nilai-nilai sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh, yang diambil dari penghayatan seorang penari Joged Mataram. Karya seni garapan Sri Sultan Hamengku Buwono I tersebut memuat pesan-pesan spiritual. Menurut adat Kraton Yogya, seorang Raja yang memiliki Kekuasaan soverein harus memahami empat unsur yang memiliki makna antagonistik. 1) Sawiji. sikap konsentrasi menyatu tanpa menghilangkan kesadaran diri. 2) Greget. Bersemangat, namun dikemas dalam kehalusan. 3) Sengguh. Percaya diri tanpa bersikap sombong. 4) Ora mingkuh. Sikap lepas, tenang namun dalam komitmen dan sikap tertib. Dengan dikemas dalam empat sikap versi Joged Mataram tersebut, Kekuasaan soverein versi Jawa tampil dalam bentuk ksatria arif (satriyo-pinandhito).
Pendiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwwono I, membatasi kekuasaan Raja dalam delapan kebajikan, yaitu “Hastha-Wilapa-Sari”, yang intinya memuat 1) keterluluhan (ajur-ajer) Raja kepada lingkungan, 2) tanggap kepada fenomena yang terjadi; 3) merangkul kerabat pendukung tahta (kadang sentono); 4) mengayomi kawulo alit, papa dan renta di pedusunan; 5) tanggap ing sasmita, ewuh-pakewuh kepada para sarjana dan ulama; 6) memelihara adat, budaya, agama, persaudaraan umat; 7) memanfaatkan peradaban Barat bagi bangsa dan negara; 8) adil, arif bijaksana, tidak mabuk pujian.
Tokoh legendaris Sultan Agung Hanyokrokusumo mengembangkan konsep kepemimpinan dalam : “Sang Aji Bahara Buwana” lewat “ Serat Sastra Gendhing”, yang memuat tujuh karateristik seorang Raja. Ajaran atau piwulang tersebut di atas menjadi wasiat yang wajib dilaksanakan oleh kerabat Ngarso Dhalem Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama kerabat Paduka Sri Paku Alam VIII. Menjelang Proklamasi 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama Sri Paduka Paku Alam VIII, mengubah Konstitusi Kasultanan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kekuasaan soverein menjadi wasiat Rakyat kepada Raja (1945). Isi Maklumat tersebut kemudian dibukukan dengan judul Tahta untuk Rakyat. Maklumat tersebut membuat Yogya berbeda dengan Aceh dan Papua. Kehendak untuk bergabung dengan Republik Indonesia adalah kehendak Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri. Kekuasaan soverein Raja telah berubah menjadi Kekuasaan yang dititipkan atau diwakilkan kepada Raja. Mengapa tidak dimandatkan? Karena Raja tidak dipilih oleh rakyat dan Raja bukan mandataris rakyat. Berbeda dengan keistimewaan Aceh dan Papua. Kedua propinsi tersebut diberikan keistimewaan oleh Pemerintah Republik Indonesia oleh karena jasanya (Aceh) dan karena alasan politis (Papua). Mengatakan DIY sebagai Negara di dalam Negara adalah keliru. Demikian juga bila dikatakan di dalam Negara demokratis Republik Indonesia terdapat Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningart. Yang benar adalah, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Propinsi yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia. Kekuasaan soverein Kasultanan merupakan wasiat Rakyat Yogya yang diemban semenjak Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama dengan Sri Paduka Paku Alam VIII.
Dalam struktur Pemerintahan NKRI, maka Kepala Propinsi DIY adalah Sri Sultan selaku Gubenur, dan Sri Paduka Paku Alam sebagai Wakil Gubenur. Dalam urusan internal, maka Sri Sultan adalah Junjungan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Sri Paduka Paku Alam adalah Junjungan Kadipaten Paku Alaman. Mengintervensi urusan internal DIY adalah identik dengan tidak menghargai serta menghormati sejarah bangsa-bangsa Nusantara sebagai embrio dan mozaik terbentuknya Bangsa Indonesia.
5. Kekuasaan Politik di Republik Indonesia
Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan oleh Sidang PPKI dan mulai pertama kalinya diumumkan pada tanggal 18 Agustus 1945, menyatakan bahwa lembaga tertinggi Negara adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai yang mewakili Negara. MPR berkewenangan memilih serta mengangkat Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan, memberikan mandat Kekuasaan Negara (otoritas kenegaraan dan otoritas pemerintahan) serta mensahkannya sebagai mandataris MPR. Negara Republik Indonesia, merupakan organisasi Negara yang dibentuk oleh Musyawarah dan Mufakat (Kontrak Sosial) para pendiri Republik (founding fathers), yang dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur no 56, Jakarta, yang kemudian disebut sebagai Proklamasi Kemerdekaan.
Selama kurun waktu 64 tahun pasca Proklamasi, penyelenggaraan Negara oleh lembaga Pemerintahan Republik Indonesia dilaksanakan melalui berbagai versi dan interpretasi. Meskipun jauh hari sebelumnya para Pendiri Republik telah mengamanatkan, perlunya UUD 1945 yang singkat tersebut disempurnakan, namun yang terjadi adalah perubahan bukan penyempurnaan (amandemen). Hal-hal yang berkenaan dengan penyelenggaraan Negara tidak lepas dari unsur pendukungnya: Rakyat, Wilayah, Konstitusi dan Berdaulat (pengakuan), yang pengaturan beserta mekanisme kerjanya masih memerlukan rumusan detil. Belajar dari pengalaman Negara lain, Kekuasaan Negara dibagi tiga, yakni Kekuasaan legislatif, Kekuasaan eksekutif dan Kekuasaan yudikatif. Kiranya sah-sah saja bila Indonesia mengadopsi sistem pembagian Kekuasaan tersebut, asal saja melalui cara yang benar, dalam arti disesuaikan dengan kondisi lokal. Prof Soepomo, salah satu founding fathers Bangsa Indonesia, mengatakan, bahwa bukanlah hal yang keliru, bila Indonesia merumuskan Konstitusi “sistem sendiri”.
Dalam Penjelasan Resmi UUD 1945 yang tercantum pada berita Republik Indonesia, 15 pebruari 1946, tertulis:
UUD ini disusun dengan semangat kekeluargaan. Tetapi kalau para penyelenggara Negara dan pemimpin pemerintahan Negara melaksanakannya dengan semangat “perseorangan” (individualism), maka tujuan UUD ini tidak akan tercapai.
Kenyataan mengatakan, bahwa Bangsa Indonesia yang multi etnik dengan budaya, kepercayaan dan agama masing-masing, yang tersebar dari Sabang sampai ke Merauke adalah mozaik Nusantara. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain bagi penyelenggaraan Kekuasaan Negara untuk melaksanakan kompromi Nasional dalam bentuk musyawarah dan mufakat untuk kepentingan pelbagai hal, misalnya diubahnya redaksi dalam Piagam Jakarta untuk Sila ke-satu Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menghilangkan “menjalankan syari’at Islam’; tetap mempertahankan hak menyatakan pendapat pasal 28 UUD 45 tentang kebebasan mimbar.
Kenyataan bahwa Hak Azasi Manusia atau HAM menjadi salah satu isu utama dalam amandemen UUD 1945, sangatlah bertentangan dengan Penjelasan Resmi tersebut di atas yang bersifat kolektif dan Kekeluargaan. Demi cita-cita Proklamasi 1945, hal tersebut tentunya tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Dengan empat kali amandemen yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, ada yang mengatakan, bahwa UUD 1945 yang sekarang sudah lebih baik, dapat dilihat dari hubungan kerja antara lembaga negara yang jauh lebih mencerminkan checks and balances, sehingga Negara lebih demokratis. (Moh. Mahfud:2008). Presiden (Eksekutif) dan DPR (Legislatif) saat ini sudah diposisikan secara sejajar, tak ada dominasi yang satu terhadap yang lain. (ibid) Keterlibatan Majelis Konstitusi (Yudikatif) membuat DPR harus bekerja dengan sungguh-sungguh. (ibid) Namun ada juga yang mengatakan, bahwa hasil amandemen telah memperburuk sistem Pemerintahan, karena membalik hubungan kelembagaan Negara dari executive heavy (dominasi Presiden) ke legislature heavy (dominasi DPR).
Amandemen yang dilakukan atas UUD 45 jelas membelokkan arah Konstitusi dari berjiwa kekeluargaan yang mendasari setiap pasal UUD 1945, menjadi bernuansa individual. Hal ini menjadikan UUD 45 sebagai konstitusi tanpa konteks. Selain itu amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945 memberi peluang bagi manusia sebanyak-banyaknya untuk menjadi ’serigala bagi manusia lainnya’. Misalnya, dengan jumlah kontestan Pemilu 2009 sebanyak 38 Partai, dimana setiap Ketua Partai berlomba jadi Kepala Negara; setiap anggota Partai berupaya menjadi calon Legislatif Pusat atau Daerah, sementara undang-undang pemilihan Presiden belum jelas; undang-undang Pemilihan Umum perlu disempurnakan; pemahaman terhadap Pancasila dan UUD 45 diragukan. Pondamen (’meja statis’) dan Leidstar dinamis yang diletakkan oleh para Founding Fathers agar Negara menjadi wadah kebersamaan etis menjadi jauh panggang dari api.
Sila ke-4 dalam Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan menunjukkan bahwa kedaulatan Negara bersumber pada musyawarah dan mufakat Rakyat, yang adalah budaya asli Nusantara. Para Pendiri Republik Indonesia memahami, bahwa sistem pengambilan keputusan masyarakat Nusantara adalah melalui musyawarah dan mufakat. Hal ini sejalan dengan Pakta Sosial versi Jean-Jacquess Rousseau (1712-1778), bahwa kedaulatan Negara berada di tangan musyawarah mufakat Rakyat. Apakah beda kedaulatan Rakyat dengan Demokrasi? Yang dimaksudkan dengan Demokrasi, adalah Kekuasaan pemerintahan ditangan Rakyat. Sementara Kedaulatan Rakyat atau Republik adalah Kekuasaan Negara ditetapkan oleh musyawarah dan mufakat Rakyat.
6. Pancasila dan Kekuasaan Negara
Dengan merumuskan Pancasila serta meletakkannya sebagai dasar Negara, sesungguhnya para pendiri Republik Indonesia telah menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu menyiapkan Bangsa Indonesia yang baru dalam proses “menjadi”, agar menjadi satu bangsa yang berjiwa Pancasila, dan sebuah Negara sebagai wadah kebersamaan etis yang diselenggarakan berdasarkan nilai-nilai Pancasila: Ketuhanan YME, Persatuan Indonesia, Perikemanusiaan yang beradab, Kertakyatan yang dipimpin oleh hikmah permusyawaratan Perwakilan, Keadilan Sosial demi tercapainya mayarakat sejahtera, aman, damai. Sebagai sarana politik, Pancasila menunjukkan bahwa dalam melawan penindasan menjadi dasar Kebangsaan dan Persatuan Indonesia, dan dalam kebersamaannya Bangsa Indonesia memperjuangkan kehidupan Negara berkedaulatan Rakyat (Kerakyatan), artinya kekuasaan mutlak dipegang Rakyat; bahwa Kekuasaan Negara ditetapkan oleh musyawarah dan mufakat; bahwa Kekuasaan Negara diwakili oleh perwakilan Rakyat; bahwa bangsa-bangsa Nusantara secara geopolitik sesungguhnya merupakan satu rumpun Bangsa. Kebersamaan yang berkeadilan sosial. Dari sisi kultur lokal, Pancasila mengangkat sikap religius bangsa-bangsa Nusantara; sikap ajur-ajer/tepa sliro/tanggap rasa (keterluluhan) yang menunjukkan perikemanusiaan yang beradab; adat musyawarah dan mufakat yang merupakan tradisi masyarakat Nusantara dalam berkomunikasi secara kolektif dalam urusan pengambilan keputusan mengenai kebijakan penetapan penjagaan tata kehidupan warga; melanggengkan tradisi dan budaya lokal; urusan perkawinan, dan sebagainya. Oleh karena itu, Konstitusi Negara yang berdasarkan Pancasila perlu kembali berakar pada peradaban Nusantara yang berjiwa Kekeluargaan/kolektif. Dalam konteks jargon politik Rousseau, sebagai entitas nalar, Negara adalah ‘warga’ yang tidak imun dari kewajibannya sebagai ‘subyek’ Hukum. Oleh karena itu, Negara membutuhkan payung idiil dan landasan moral, yaitu Pancasila sebagai Weltanschauung Bangsa (Sukarno: 1958) dan Negara (korps politik/moral), agar sebagai ‘warga Kekuasaan’ dan ‘subyek Hukum’, Negara tidak menyimpang dari kewajiban memberi perlindungan dan menjamin kesejahteraan Rakyat.
7. Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia
Menurut amanah Konstitusi Republik Indonesia 1945 sebelum amandemen, Kepala Negara/Kepala Pemerintahan atau Presiden sebagai pimpinan Eksekutif berkewajiban melaksanakan Undang-Undang Negara yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memegang otoritas kekuasaan Legislatif. Presiden bertanggungjawab kepada MPR sebagai lembaga tertinggi Negara, yang berkewenangan menunjuk pencalonan Presiden dan wakil Presiden serta menetapkannya sebagai Mandataris MPR. Namun, kenyataan yang akan berlangsung dalam pemilihan Capres di tahun 2009 adalah, bahwa Capres (pimpinan Eksekutif) yang dipilih rakyat secara langsung, bila mencapai perolehan suara 20-30% perlu mendapat legitimasi dari kurang lebih 25% suara anggota Legislatif (DPR), yang juga dipilih Rakyat melalui Pemilihan Umum Legislatif. Apakah yang demikian itu dapat dibenarkan? Kepala Eksekutif disahkan oleh lembaga legislatif?
Dalam daftar tugas DPR sebanyak 13 butir, tidak satu butir pun mencantumkan adanya kewajiban tersebut. (Supriatnoko:2008:82) Dalam Konstitusi yang sudah diamandemen, diasumsikan hal tersebut menjadi sah, karena MPR sudah berubah posisi menjadi Joint Assembly, bahkan joint session dari DPR bersama DPD. Ini berarti, DPR dan DPD melaksanakan kewenangan lembaga tertinggi Negara, dan MPR melaksanakan kewenangan ‘Legislatif.’ Dalam Sovereinitas versi Rousseau, dikatakan (Kontrak Sosial:1989:42-45):
Legislator adalah seorang manusia luar biasa dari segi manapun di dalam Negara. Ia harus luar biasa karena bakatnya dan juga karena tugasnya...Tugas yang membentuk Republik, namun sama sekali tidak termasuk Republik. Itu tugas khusus dan tertinggi, yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan [keseharian] manusia; karena, jika siapa memerintah manusia [magister], tidak berhak memerintah undang-undang, maka siapa memerintah undang-undang [legislator], tidak berhak memerintah manusia. (Kontrak Sosial:1989:42-3)
...Sebelum terbentukya undang-undang, manusia harus sudah dalam keadaan yang nantinya ditentukan ditentukan oleh undang-undang. (Kontrak Sosial:1989:44)
Pada paragraf pertama di atas, jelas digambarkan, wewenang Legislator adalah merumuskan Undang-Undang. Oleh karenanya, bagi Rousseau, peran dan fungsi Legislator menduduki posisi sangat terhormat dalam hirarki penyelenggaraan Negara. Banyak kemungkinan hal ini kurang dipahami oleh para politisi Indonesia. Banyaknya petualang politik dalam Pemerintahan dapat mengakibatkan kehancuran korps politik/Negara. Konstitusi Republik Indonesia melalui Undang-Undangnya yang mutakhir menetapkan Kepala Negara Republik Indonesia dipilih langsung oleh Rakyat. Dalam sistem Presidensiil, Presiden terpilih tidak seharusnya berasal dari Ketua Partai yang dicalonkan oleh Partainya sendiri. Bila demikian yang dilakukan, maka Rakyat telah melakukan kekeliruan besar karena mengacaukannya dengan sistem Parlementer, yang pimpinan Pemerintahannya dipegang oleh Perdana Menteri yang berasal dari Ketua Partai pemenang Pemilihan Umum.
Seperti yang telah disampaikan di muka, bahwa berkat amandemen yang telah dilakukan, terdapat reaksi antara lain 1) bahwa kedudukan Presiden sejajar dengan DPR; 2) bahwa Indonesia adalah Negara Muslim terbesar yang berhasil membangun demokrasi dengan pesat pasca Reformasi; 3) bahwa politik Kekuasaan menjadi legislature heavy, 4) bahwa nilai-nilai dasar yang ditanamkan para Pendiri Negara tetap dipertahankan dengan kukuh dan penuh kesadaran. (Mahfud:2008) Menyimak kata-kata di atas dan memahaminya, merupakan dua hal berbeda. Untuk paling sedikit mendapat kan gambaran sederhana, kiranya perlu menyimak pelaksanaan pemerintahan Negara Republik Indonesia.
a) Situasi umum. Para Pendiri Republik Indonesia jauh-jauh hari sudah mengingatkan, bahwa Konstitusi Republik Indonesia yang termaktub di dalam UUD 1945, dirumuskan secara singkat, karena diakui perlu penyempurnaan dan penyesuaian. Namun seperti yang telah disampaikan di muka, amandemen yang mentransformasikan UUD 1945 dari bercorak kekeluargaan berubah ke corak hak azasi individu, ibarat mencabut tanaman tanpa akarnya. Tidak ada yang lebih mengenal Jiwa Bangsa Indonesia selain para Pendiri Republik, yang memikirkan masa depan Bangsanya dengan segala ketulusan dan keikhlasan. Tidak dapat dipungkiri, amandemen telah mengingkari maksud dan tujuan perumusan UUD 1945 semula. Ini bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh prof Mahfud dalam kalimat sebagai berikut: mempertahankan dengan kukuh dan penuh kesadaran nilai-nilai dasar yang ditanamkan oleh para pendiri Negara.
b) Lembaga Eksekutif, ialah lembaga tinggi Negara yang menerima Kekuasaan otoritas dengan kewenangan menjalankan administrasi penyelenggaraan Negara berdasarkan undang-undang yang dibuat dan disahkan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden Republik Indonesia adalah pimpinan Eksekutif (Kepala Pemerintahan) yang dibantu oleh Kabinet (unsur-unsur legislatif, eksekutif, yudikatif, para Menteri Departemen dan Menteri Negara non-Departemen). Setelah diamandemen, dikatakan: Presiden dan DPR saat ini sudah diposisikan sejajar. (Moh. Mahfud : 2008) Perlu disampaikan, bahwa posisi dan kewenangan merupakan dua istilah yang berbeda.
Menurut UUD 1945 sebelum amandemen, Presiden adalah mandataris MPR. Tetapi, setelah diamandemen, Konstitusi Republik Indonesia tidak lagi memiliki perwakilan yang mewakili Kekuasaan Negara (MPR), melainkan Parlemen, yang mewakili aspirasi Rakyat. Konsekuensinya, Presiden Republik Indonesia terpilih 2009 menyelenggarakan Pemerintahan tanpa mandat kekuasaan Negara, kecuali Kepercayaan dari Rakyat. Dengan dihapuskannya MPR sebagai lembaga tertinggi Negara, terhapus pula perwakilan musyawarah dan mufakat. Apakah dengan demikian Rakyat Indonesia masih ada keterikatan Hukum dengan Kekuasaan Negara? Apakah dengan kondisi baru ini masyarakat Indonesia ‘kembali menjadi’ masyarakat alamiah atau kawanan Pribadi-Pribadi (kecuali masyarakat DIY karena masih memiliki Penguasa/Pemimpin/Raja). Apabila Presiden dipilih secara langsung oleh kawanan Pribadi-Pribadi (masyarakat alamiah) bukankah yang demikian sama dengan memilih Penguasa tanpa ikatan Hukum? Sebagai perbandingan, di bawah ini akan disampaikan gambaran singkat mengenai sistem Pemerintahan Presidensiil Amerika Serikat.
Di Negara Amerika Serikat, para kandidat Presiden dan wakilnya, berangkat dari posisi Senator/Gubernur Negara Bagian/Independen yang tergabung dalam kelompok politik (pakta sosial) Republik atau Demokrat. Mereka berkampanye di Negara Bagian yang mendukungnya dan yang mungkin akan mendukungnya. Kandidat dengan angka suara tertinggi akan mewakili kelompoknya (Demokrat atau Republik) untuk ”bertarung” dengan lawan politiknya dari kelompok lain. Kandidat Presiden dari Demokrat dan Republik, bertarung dalam sebuah perdebatan, dimana Rakyat pemilih akan memberikan suaranya kepada Kandidat yang dianggap paling pantas menduduki kursi Kepresidenan Amerika Serikat di mata mereka. Sistem penetapan kandidatur serta sistem pemilihan Calon Presiden belum dimiliki oleh Konstitusi Republik Indonesia sampai sekarang, sehingga satu-satunya cara yang dianut dan diterima Rakyat Indonesia adalah menunjuk Ketua Partai yang dicalonkan oleh Partainya sendiri sebagai Calon Presiden.
Di Inggris, pimpinan Pemerintahan adalah Perdana Menteri yang dipilih dari politisi perwakilan rakyat pemenang suara terbanyak, dalam hal ini pimpinan Partai politik. Sementara Presiden Amerika Serikat dipilih dari negarawan (senator atau gubernur negara bagian) yang mengajukan dirinya sebagai Kandidat Presiden yang bertarung melawan kandidat dari partai/kelompok lain. Pernah terjadi di Amerika Serikat, dua orang Capres independen maju, namun tidak berhasil. Untuk Indonesia, seyogyanya Kepala Negara yang sekaligus Presiden Indonesia (Kepala Pemerintahan), adalah Negarawan anggota ‘Presidium’ yang ditunjuk oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai lembaga tertinggi Negara yang memberi mandat atas nama Kekuasaan Negara kepada Presiden terpilih.
De facto, pemilihan dan penetapan Presiden di Republik Indonesia rancu, karena menggunakan sistem Parlementer. Seperti yang sudah disampaikan di atas, setiap Ketua Partai dinominasikan oleh Partai masing-masing sebagai calon Presiden. Dengan ditiadakannya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Rakyat berkewajiban memilih langsung. Namun demikian, tanpa sistem yang memadai, seperti Amerika Serikat, yang memiliki Negarawan handal (Senator/mantan Gubernur) sebagai kandidat Presiden, maka apakah pencalonan Presiden di Indonesia dapat dikatakan sekedar petualangan para politisi bermodal finansial?
Di negara Amerika Serikat, setiap Senator memang berangkat dari kelompok aliran yang dipilihnya. Bagaimana Amerika Serikat menjalankan proses demokratisasinya perlu dipelajari, karena mereka hidup dalam sistem administrasi jaringan labah-labah yang tertib dan teratur, yang sekaligus memberlakukan Declaration of Independence, Bill of Human Rights serta US Constitution secara konsekuen.
Amerika Serikat tidak membentuk sistem Pemerintahan Republik sentralistik seperti Perancis, karena terlalu luas, melainkan pemerintahan Federal atau Negara Serikat yang terdiri atas beberapa Negara Bagian (State) yang masing-masing tidak berdaulat. (Deddy Ismatullah et al.:2006:113) Yang berdaulat adalah gabungan dari negara-negara bagian itu, yaitu Negara Federal. Amerika Serikat tidak bicara Kekuasaan yang dimandatkan, melainkan menghimpun Kekuatan rakyat (people’s power) melalui Negara Bagian yang dalam Pemerintahan Federal diwakili oleh Senator masing-masing. Rakyat Amerika Serikat terbagi ke dalam dua kelompok gagasan Democrat dan Republic. Program Gagasan calon Presiden yang menang selama kampanye itulah yang digunakan sebagai program Pemerintahan Federal, sementara setiap Negara Bagian, karena otonom, mempunyai program Rumah Tangga sendiri-sendiri yang dilaksanakan oleh setiap Gubernur yang dipilih rakyat, dan oleh Walikota yang dipilih rakyat. Dengan demikian, setiap Negara Bagian/kota memiliki corak Pemerintahan sendiri yang dikehendaki rakyat, beraliran Demokrat atau Republik. Untuk urusan Angkatan Perang dan Keuangan ada di tangan Negara Fedeal. (ibid)
Seperti yang sudah disinggung di muka, Negara Federasi Amerika Serikat adalah Negara yang dikendalikan oleh sistem administrasi yang mirip dengan ’jaringan laba-laba’. Karena itu, Pemerintahan seorang presiden A disebut sebagai the administration of A yang beraliran Demokrat atau Republik. Dalam konteks Konstitusi Indonesia, setelah MPR ’diturunkan’ menjadi joint session antara DPR dengan DPD, dan UUD 1945 diposisikan sebagai Kekuasaan tertinggi Negara, siapa yang berhak mengamandemen bila diperlukan hal-hal yang menyangkut penyempurnaan Undang-Undang? Apakah beda manusia Indonesia masa kini dengan manusia Indonesia yang mengucapkan Sumpah Pemuda 1928; dengan manusia Indonesia yang mendeklarasikan Proklamasi 1945? Adakah manusia Indonesia masa kini menyadari, bahwa Mukadimmah UUD 1945 berdasarkan Pancasila, merupakan Pakta Sosial para Legislator sekaligus pendiri Republik, yang melangsungkan musyawarah dan mufakat bertahun-tahun dalam penindasan penjajahan? Mereka berupaya memandu moralitas Bangsa Indonesia ; mengarahkan masyarakat alamiah agar menjadi masyarakat politik (warganegara) dalam ‘penyerahan kebebasannya’ kepada Kekuasaan Negara Republik Indonesia (dalam bentuk Nasionalisme dan rasa Kebangsaan); serta mengendalikan perilaku setiap warga sebagai subyek dari Hukum Sovereinitas Republik Indonesia? Wilayah arkipelago Indonesia luas dengan pluralisme etnik. Indonesia perlu mencari sistem Pemerintahan alternatif dan sistem Ketatanegaraan yang lebih sesuai dengan kondisi geografis, demografis yang multi-etnik tersebut dengan tetap menggunakan payung Pancasila dan UUD 1945. Atau, menjalankan dan menyelenggarakan Pemerintahan Presidensiil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara benar dan konsekuen.
c. Lembaga Legislatif adalah vital bagi sebuah Negara. Sebagai perumus undang-undang, lembaga ini merupakan payung bagi dua lembaga lainnya. Kontrak Sosial Rousseau menyebutnya sebagai lembaga Soverein. Di Kerajaan Britania Raya, proses penyempurnaan pembagian wewenang Kekuasaan antara tiga lembaga Pemerintah telah berlangsung berabad-abad semenjak John Lock (legislatif, eksekutif, federatif). Namun demikian, Trias Politika dari negara asalnya, Kerajaan Britania, tidak sekaku Trias Politika versi Montesquieu: legislatif, eksekutif, yudikatif. Dalam proses demokratisasi, sesungguhnya, Partai perlu menyiapkan Kader-Kader dan Fungsionarisnya agar dapat berperan dan berfungsi sebagai Legislator berkualitas seperti yang diangankan Rousseau. Karena posisi Partai berada di antara Pemerintah dan Rakyat, maka Platform Partai perlu berangkat dari kepincangan kehidupan masyarakat, bukan terbatas pada Visi dan Misi para elitnya. Para Legislator Indonesia diharapkan memperbaiki undang-undang tentang kepartaian dan tentang Pemiihan Umum serta tentang kedudukan MPR/DPR/DPD/DPRD. (Moh. Mafhud:2008)
Dalam sebuah Negara, jumlah Partai secara ideal sebaiknya tidak melebihi jumlah jari satu tangan, yaitu lima. Dengan kondisi demikian, setiap Partai dapat bersifat otentik. Dampaknya, Rakyat dengan mudah dapat memilih Partai mana yang benar-benar mewakili aspirasinya. Dalam tubuh Lembaga Legislatif yang tidak terlalu ’beraneka warna’, Partai akan lebih mudah bekerja dan memposisikan diri sebagai Partai Pro Pemerintah atau Oposisi.
d. Lembaga Yudikatif adalah lembaga peradilan yang merupakan hati nurani sebuah Negara. Bagaimana praktek peradilan dijalankan di Republik Indonesia merupakan sebuah bukti, bahwa sesungguhnya pembagian Kekuasaan di Republik ini belumlah terselenggara dengan selayaknya. Baron Montesquieu (1689-1755), yang pernah tinggal di Kerajaan Inggris dari 1729-1731, menekankan betapa penting bagi lembaga Negara Yudikatif untuk berdiri sendiri agar Kekuasaan menghentikan Kekuasaan, dalam L’Esprit des Lois (1748). Dikatakan oleh Moh. Mahfud dalam tulisannya di koran Seputar Indonesia dalam rubrik Opini, Perubahan (Kembali) UUD 1945, bagian pertama dari dua tulisan, Alhasil, perubahan UUD 1945 sekarang ini sudah membawa kemajuan yang signifikan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Ada tiga hal penting yang perlu dipertanggungjawabkan oleh Prof Mahfud berkenaan dengan pernyataannya di atas, yakni kenyataan bahwa 1) Indonesia mempertahankan nilai-nilai yang ditanamkan para Pendiri Negara; 2) secara tidak langsung ia, mendukung pujian Jimmy Carter dan Anwar Ibrahim atas keberhasilan Indonesia sebagai Negara Muslim terbesar membangun demokrasi dengan pesat pasca Reformasi 1998; 3). Presiden dan DPR saat ini sudah diposisikan secara sejajar.
Kesimpulan
Dalam konteks perbaikan dan penyempurnaan kehidupan sosial dalam bernegara, yang perlu dilakukan, adalah mengembalikan fungsi Lembaga Tertinggi Negara yang mewakili Kekuasaan Negara sebagai wadah kebersamaan etis yang berkedaulatan Rakyat; menyempurnakan sistem Tata Negara Presidensiil dalam konteks Nusantara sebagai wilayah Maritim; memperbaiki sistem penetapan calon Presiden sebagai Kepala Negara yang sekaligus Kepala Pemerintahan Republik Indonesia, mandataris MPR serta Panglima Besar Tentara Nasional Republik Indonesia; memperbaiki undang-undang tentang Kepartaian dan tentang Pemilu; memperbaiki peran dan fungsi Sekolah sebagai lembaga pendidikan dan latihan Generasi Penerus.
Oleh karena itu, jangan hendaknya Bangsa Indonesia meninggalkan dosa kolektif kepada Generasi Penerus, dengan menelantarkan Pakta Sosial Bangsa dalam Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah cita-cita dan angan-angan seluruh bangsa-bangsa Nusantara/Bangsa Indonesia, yang masih dalam proses perwujudan sebagai wadah kebersamaan, tempat berlindung serta mencari nafkah. Cita-Cita Proklamasi 1945 adalah Rakyat merdeka dan sejahtera. Bagi mereka yang dipercaya menerima amanah Kekuasaan, hendaknya mempertahankan kehormatan itu, karena Kekuasaan yang diselenggarakan secara keliru, bisa menjadi bumerang, utamanya ketika kehidupan Generasi mendatang akan lebih menderitadaripada kehidupan sekarang. Bilamana para Pendahulu Republik Indonesia bisa memerdekakan, mengapa Generasi mendatang harus terbelenggu dan terjerat leher oleh ulah Generasi sekarang?
Penutup
Kekuasaan Negara Republik Indonesia perlu diselenggarakan sebaik-baiknya oleh Pemerintahannya, dengan catatan, genesis Konstitusi UUD 1945 perlu dipelajari kembali dengan merujuk kepada teori-teori politik yang kiranya dulu dipakai sebagai rujukan oleh para pendiri Negara Republik Indonesia demi tercapainya cita-cita Proklamasi 1945. Semoga...
GOLKAR Media
Selasa, 03 Maret 2009
Senin, 02 Maret 2009
Corporate Social Responsibility dalam Kaitannya dengan Industri Kreatif di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Pendahuluan
Dalam saresehan Selasa Wage-an Yogya Semesta ke-XVI yang baru lalu, tidak seperti biasa, suasana kali ini bernuansa non-jawa, globalistik serta high-tech. Topik diskusi berkisar seputar makna, peran dan fungsi Industri Kreatif di lingkungan Propinsi DIY, peran dan fungsi IT, maksud dan tujuan corporate social responsibility menurut pemahaman Pemakalah, serta himbauan para Panelis lainnya agar Industri Kreatif ini mendapat dukungan pemerintah Daerah lewat BPD-DIY. Masalahnya, menurut kajian British Council bersama Universitas Bina Nusantara, Industri Kreatif (creative industry) di lingkungan Propinsi DIY tersebut mampu menyumbangkan produk domestik bruto (PDB) senilai Rp. 300 triliun atau sekitar 10 persen dari total PDB Nasional. (buletin Yogya Semesta edisi ke-XV ? ), selain menyerap tenaga kerja. Karena memiliki keunggulan pada aspek ‘budaya, pendidikan, pariwisata dan kerajinan’ (ibid), maka Pemerintah Daerah Ngayogyakarta Hadiningrat tampaknya akan menggunakan peluang tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui dukungannya terhadap Industri Kreatif. Di bawah ini disampaikan ulasan singkat tentang makna serta peran penting corporate social responsibility menurut konsep umum dan pengimplementasiannya di Propinsi Ngayogyakarta Hadiningrat.
Konsep Umum
Dalam masyarakat yang menganut sistem Ekonomi Kapitalisitik Liberal, maka tujuan utama yang hendak dicapai adalah keuntungan atau profit yang sebesar-besarnya. Karena pada umumnya kondisi sosial ekonomi masyarakat tidak sama, maka terdapatlah lapisan strata masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi berbeda. Oleh karena itulah para ilmuwan Etika atau para Etisi berpendapat kondisi demikian memicu situasi tidak adil. Pada tahun 60-an, para Etisi Mancanegara merumuskan derivasi Etika Normatif tentang aplikasi nilai-nilai etis dalam pelbagai tema kehidupan, yang mereka sebut Etika Terapan. Salah satu produk awal mereka adalah Etika Bisnis, dimana setiap Korporasi Multi Nasional (MNC) berkewajiban turut menjaga pelestarian Alam, lingkungan serta menyelenggarakan kesejahteraan manusianya di areal mereka beroperasi. Kewajiban tersebut disebut CSR (Corporate Social Responsibility).
Dalam lingkup mikronya, CSR ialah tuntutan kepada Lembaga Usaha Asing/Nasional agar di dalam melaksanakan kegiatan usahanya memperhatikan faktor-faktor keselamatan dan kesejahteraan manusia, baik di luar lingkungan tempat kerja maupun di dalam tempat kerja. Sebelum diberlakukan CSR, berbagai perusahaan dari pelbagai jenis usaha hanya mementingkan serta memaksimalkan keuntungan semata. Contoh: Perusahaan Garment dengan tempat kerja yang tidak layak karena kurang ventilasi; pabrik cat yang tidak memperhatikan kesehatan paru2 karyawan; perusahaan obat2an yang membuat obat berbahaya bagi kesehatan konsumen bila dikonsumsi dalam jangka panjang; perusahaan pelayaran dan penerbangan yang kurang memperhatikan keselamatan penumpang, dan seterusnya.
Bagi investor Asing, CSR merupakan keharusan/kewajiban, utamanya bila mereka mendirikan perusahaan dengan pabriknya di daerah pedalaman (inland) dengan membuka lahan untuk kawasan pabrik dengan pemukiman karyawannya. Tampilan dan kondisi pemukiman tersebut seyogyanya tidak terlalu berbeda dengan tampilan dan kondisi pemukiman lingkungan lokal. Artinya, perusahaan tidak dibenarkan mengubah situasi lokal yang non-teknis secara berlebihan, melainkan justru diharuskan membantu memperbaiki situasi dan kondisi lingkungan agar lebih baik, walaupun tidak sama kualitasnya. Atau sebaliknya, perumahan karyawan pabrik tidak dibenarkan berada di bawah standar pemukiman penduduk. Dengan demikian, CSR bagi investor Asing, bukan hanya berarti mendapatkan hak untuk melakukan usahanya, tetapi juga mempunyai kewajiban menaikkan kualitas hidup masyarakat lingkungan pabrik. Sangat diharapkan para investor Asing turut mencerdaskan kehidupan Desa di lingkungan tempat mereka beroperasi, dan turut meningkatkan potensi angkatan kerja lokal melalui pelbagai pendidikan dan pelatihan dan diberi kesempatan untuk magang.
Di beberapa Negara Eropa Barat, seperti Belanda, pajak pendapatan tinggi, sampai hampir 60%, karena dianggap tidak adil, bila dalam satu negara terdapat perbedaan tingkat pendapatan dan kualitas hidup yang mencolok di antara sesama warga. Oleh karena itu, bagi yang berpenghasilan tinggi, dikenai kewajiban “memikirkan nasib sesama” melalui pajak pendapatan yang signifikan. Apa yang dilakukan oleh Negara-Negara maju terhadap warganya merupakan contoh kongkrit betapa nilai keadilan sosial dijunjung tinggi yang diberlakukan serta dilaksanakan secara konsekuen.
Dari kaca mata Pancasila, kegiatan usaha dagang yang melulu mementingkan keuntungan semata dan semacamnya, jelas melanggar sila Peri Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, seyogyanya para Pebisnis atau Pengusaha Nasional merujuk kepada rambu-rambu yang dirumuskan dalam etika bisnis atau etika usaha perihal sikap dan perilaku pedagang, mana yang baik/buruk; mana yang benar/salah. Dalam perkembangannya semenjak tahun 60-an, berawal dari rumusan tentang Etika Bisnis dan Etika Kedokteran (bio ethics), para ilmuwan Etika merambah ke pelbagai disiplin ilmu terapan lainnya, misalnya Etika Akuntansi, Etika Pemerintahan, Etika Jurnalistik, Etika Kepemimpinan, Etika Kekuasaan Politik, Etika Politik Kekuasaan dan lain sebagainya.
Berbeda dengan Hukum yang apabila dilanggar ada sanksinya, Etika tidak memberi sanksi, kecuali pada Kode Etik yang disepakati, misalnya, Kode Etik Guru, Kode Etik Pengacara, Kode Etik Dokter, dan seterusnya. Pelanggar Kode Etik profesional diberi sanksi oleh lembaga profesional terkait.
Perusahaan yang berorientasi laba tidak berkode etik, melainkan beretika bisnis. Sesungguhnya, seperti kegiatan lainnya, bisnis atau berdagang secara inheren memiliki logika sendiri yaitu memaksimalkan keuntungan. Jika tidak untuk mencari keuntungan, bukan berbisnis namanya. Oleh karena itu, di dalam sistim Ekonomi Kapitalis Liberal, manusia dan juga pelbagai aset lainnya didudukkan sebagai modal perusahaan. Tidak mengherankan bila harkat martabat manusia, dalam dunia Ekonomi semacamnya, terlecehkan demi keuntungan/laba (uang/nilai tukar). Dalam kondisi demikian, Perusahaan pun berubah menjadi ‘gurita raksasa’ yang siap menjerat siapa-siapa yang tidak/kurang membela dan memakmurkannya. Perusahaan besar dan semua unsur yang mewakilinya tampil sebagai ‘Uang Hidup’. Pakaian seragam perusahaan yang semula dimaksudkan sebagai tanda satu korps, penyamarataan tingkat kepegawaian, berubah menjadi identitas karyawan sebagai bagian dari mesin administrasi ’pemupukan kapital/uang’. Alangkah mengerikan, bila manusia pada akhirnya bekerja demi uang/nilai tukar semata, bukan demi martabat sebagai manusia profesional.
Sistem Ekonomi apapun yang diberlakukan, baik yang disebut Ekonomi Kapitalis Liberal ataupun sistem Ekonomi Kerakyatan atau Ekonomi Pancasila sekalipun, tidak berpengaruh pada sistem Ekonomi mikro, yang tujuannya adalah memaksimalkan keuntungan. Jadi kiranya perlu dibedakan antara tujuan berdagang dengan Etika Usaha /Bisnis yang berkewajiban berkontribusi pada kesejahteraan, keselamatan pelanggan, penumpang, pegawai dan sebagainya. Etika Bisnis dalam usaha dagang menghimbau agar kegiatan mencari keuntungan tetap berada dalam rambu-rambu kejujuran dan non-keserakahan.
Yang penting dalam kehidupan bersama sebagai sesama manusia, adalah menyadari, bahwa dalam upaya mencari nafkah perlu mengingat hajat orang banyak yang sama-sama ingin memenuhi kebutuhan hidupnya, agar dapat hidup layak. Bagi Perusahaan yang berkesempatan memberi kehidupan para Pemilik Usaha beserta Karyawannya dalam kesejahteraan yang berkelebihan, perlu kiranya memikirkan mereka yang kurang beruntung. Itulah makna, kurang lebih, Corporate Social Responsibility sebagai hak dan kewajiban setiap Perusahaan yang tertuang dalam Corporate Culture (Kode Etik) Perusahaan Lokal/Nasional/Multi Nasional.
Istilah Industeri Kreatif dan Implementasinya Di Propinsi DIY
Penggunaan istilah ‘budaya’ menurut Kuntjaraningrat (1964), tidak dimaksudkan hanya sebagai produk seni. ‘Budaya’ adalah seluruh sikap dan cara berpikir manusia dalam menyikapi peradaban hidupnya. Kuntjaraningrat membedakan dua kategori proses pembudayaan manusia, yaitu lewat pemaknaan (ilmu pengetahuan) dan simbolisasi (produk seni, bahasa, matematik).
Istilah Industri Kreatif perlu dicermati sebagai dua pengertian yang berbeda. 1) industri kreatif yang berarti kegiatan yang berkaitan dengan imajinasi simbol budaya, berbeda dengan industri pangan dan pakan hewan; 2) industri kreatif sebagai badan usaha yang memilih kreativitas sebagai komoditi. 3) Prinsip-Prinsip Etika Bisnis berlaku dalam industri apapun, termasuk Industri Kreatif.
Setiap usaha yang bergerak dalam Industri Usaha Kecil dan Menengah, termasuk Industri Kreatif seyogyanya proaktif dalam menyambut penyelenggaraan serta pelaksanaan CSR di bidang usaha masing-masing sebagai salah satu syarat mendapatkan imbas CSR dari BPD-DIY atau pun Perusahaan Multi Nasional lainnya.
Peran CSR dalam pengembangan Industri Kreatif di Propinsi Ngayogyakarta Hadiningrat hendaknya tidak terbatas pada masalah dana saja, tetapi juga mencakup kualitas produk kreatifitas itu sendiri dan sistem pemasaran serta pasarnya sekaligus. Tidak kalah pentingnya adalah bantuan terselenggaranya Hak Cipta Produk Kreatif, agar tidak terjadi peristiwa pengakuan penciptaan atau penjiplakan serta pembajakan dari oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
Pada jalur distribusi terjadi ketidak adilan, bila para pengrajin dengan keterbatasan ketrampilan dan finansial harus menyerahkan karyanya pada bakul kulakan dengan harga sangat minim. Setelah melalui jalan panjang dari hulu ke hilir, ketika sampai di Pasar, harga jual obyek dagang menggelembung. Hal ini jelas menterpurukkan para Pengrajin secara finansial, juga sekaligus merugikan Konsumen. Betapa tidak, Konsumen harus membayar ‘mahal’ barang dengan harga yang tidak seimbang dengan kualitas kerajinan yang dibelinya.
Demi kemaslahatan masyarakat Pengrajin, dan kepuasan masyarakat Konsumen pecinta seni Kerajinan, Pemerintah Daerah perlu menetapkan Kerajinan Rakyat sebagai komoditi Ekonomi bernilai tinggi. Seiring dengan itu, kiranya CSR Perusahaan Multi Nasional dan BPD-DIY perlu mendukung dan membantu menyelenggarakan pendidikan desain serta pelatihan ketrampilan finishing yang bermutu. Dengan adanya aneka ragam kerajinan dan kesenian Rakyat (folklore), kiranya Pemerintah Daerah dengan bantuan Institut Seni perlu menggali kembali dan mempelajari serta meneliti produk simbolisasi budaya mana yang dapat di putuskan sebagai komoditi kreatif yang punya nilai jual. Dengan demikian, diharapkan dapat terjadi pengembangan dan pengayaan serta peningkatan mutu Industri Kreatif Lokal sebagai alternatif dari Tee-Shirt, atau komoditi Global tiruan lainnya.
Yogyakarta, 21 November 2008
Hj. DR. Dri Arbaningsih Soeleiman SS. MPhil
Dalam saresehan Selasa Wage-an Yogya Semesta ke-XVI yang baru lalu, tidak seperti biasa, suasana kali ini bernuansa non-jawa, globalistik serta high-tech. Topik diskusi berkisar seputar makna, peran dan fungsi Industri Kreatif di lingkungan Propinsi DIY, peran dan fungsi IT, maksud dan tujuan corporate social responsibility menurut pemahaman Pemakalah, serta himbauan para Panelis lainnya agar Industri Kreatif ini mendapat dukungan pemerintah Daerah lewat BPD-DIY. Masalahnya, menurut kajian British Council bersama Universitas Bina Nusantara, Industri Kreatif (creative industry) di lingkungan Propinsi DIY tersebut mampu menyumbangkan produk domestik bruto (PDB) senilai Rp. 300 triliun atau sekitar 10 persen dari total PDB Nasional. (buletin Yogya Semesta edisi ke-XV ? ), selain menyerap tenaga kerja. Karena memiliki keunggulan pada aspek ‘budaya, pendidikan, pariwisata dan kerajinan’ (ibid), maka Pemerintah Daerah Ngayogyakarta Hadiningrat tampaknya akan menggunakan peluang tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui dukungannya terhadap Industri Kreatif. Di bawah ini disampaikan ulasan singkat tentang makna serta peran penting corporate social responsibility menurut konsep umum dan pengimplementasiannya di Propinsi Ngayogyakarta Hadiningrat.
Konsep Umum
Dalam masyarakat yang menganut sistem Ekonomi Kapitalisitik Liberal, maka tujuan utama yang hendak dicapai adalah keuntungan atau profit yang sebesar-besarnya. Karena pada umumnya kondisi sosial ekonomi masyarakat tidak sama, maka terdapatlah lapisan strata masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi berbeda. Oleh karena itulah para ilmuwan Etika atau para Etisi berpendapat kondisi demikian memicu situasi tidak adil. Pada tahun 60-an, para Etisi Mancanegara merumuskan derivasi Etika Normatif tentang aplikasi nilai-nilai etis dalam pelbagai tema kehidupan, yang mereka sebut Etika Terapan. Salah satu produk awal mereka adalah Etika Bisnis, dimana setiap Korporasi Multi Nasional (MNC) berkewajiban turut menjaga pelestarian Alam, lingkungan serta menyelenggarakan kesejahteraan manusianya di areal mereka beroperasi. Kewajiban tersebut disebut CSR (Corporate Social Responsibility).
Dalam lingkup mikronya, CSR ialah tuntutan kepada Lembaga Usaha Asing/Nasional agar di dalam melaksanakan kegiatan usahanya memperhatikan faktor-faktor keselamatan dan kesejahteraan manusia, baik di luar lingkungan tempat kerja maupun di dalam tempat kerja. Sebelum diberlakukan CSR, berbagai perusahaan dari pelbagai jenis usaha hanya mementingkan serta memaksimalkan keuntungan semata. Contoh: Perusahaan Garment dengan tempat kerja yang tidak layak karena kurang ventilasi; pabrik cat yang tidak memperhatikan kesehatan paru2 karyawan; perusahaan obat2an yang membuat obat berbahaya bagi kesehatan konsumen bila dikonsumsi dalam jangka panjang; perusahaan pelayaran dan penerbangan yang kurang memperhatikan keselamatan penumpang, dan seterusnya.
Bagi investor Asing, CSR merupakan keharusan/kewajiban, utamanya bila mereka mendirikan perusahaan dengan pabriknya di daerah pedalaman (inland) dengan membuka lahan untuk kawasan pabrik dengan pemukiman karyawannya. Tampilan dan kondisi pemukiman tersebut seyogyanya tidak terlalu berbeda dengan tampilan dan kondisi pemukiman lingkungan lokal. Artinya, perusahaan tidak dibenarkan mengubah situasi lokal yang non-teknis secara berlebihan, melainkan justru diharuskan membantu memperbaiki situasi dan kondisi lingkungan agar lebih baik, walaupun tidak sama kualitasnya. Atau sebaliknya, perumahan karyawan pabrik tidak dibenarkan berada di bawah standar pemukiman penduduk. Dengan demikian, CSR bagi investor Asing, bukan hanya berarti mendapatkan hak untuk melakukan usahanya, tetapi juga mempunyai kewajiban menaikkan kualitas hidup masyarakat lingkungan pabrik. Sangat diharapkan para investor Asing turut mencerdaskan kehidupan Desa di lingkungan tempat mereka beroperasi, dan turut meningkatkan potensi angkatan kerja lokal melalui pelbagai pendidikan dan pelatihan dan diberi kesempatan untuk magang.
Di beberapa Negara Eropa Barat, seperti Belanda, pajak pendapatan tinggi, sampai hampir 60%, karena dianggap tidak adil, bila dalam satu negara terdapat perbedaan tingkat pendapatan dan kualitas hidup yang mencolok di antara sesama warga. Oleh karena itu, bagi yang berpenghasilan tinggi, dikenai kewajiban “memikirkan nasib sesama” melalui pajak pendapatan yang signifikan. Apa yang dilakukan oleh Negara-Negara maju terhadap warganya merupakan contoh kongkrit betapa nilai keadilan sosial dijunjung tinggi yang diberlakukan serta dilaksanakan secara konsekuen.
Dari kaca mata Pancasila, kegiatan usaha dagang yang melulu mementingkan keuntungan semata dan semacamnya, jelas melanggar sila Peri Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, seyogyanya para Pebisnis atau Pengusaha Nasional merujuk kepada rambu-rambu yang dirumuskan dalam etika bisnis atau etika usaha perihal sikap dan perilaku pedagang, mana yang baik/buruk; mana yang benar/salah. Dalam perkembangannya semenjak tahun 60-an, berawal dari rumusan tentang Etika Bisnis dan Etika Kedokteran (bio ethics), para ilmuwan Etika merambah ke pelbagai disiplin ilmu terapan lainnya, misalnya Etika Akuntansi, Etika Pemerintahan, Etika Jurnalistik, Etika Kepemimpinan, Etika Kekuasaan Politik, Etika Politik Kekuasaan dan lain sebagainya.
Berbeda dengan Hukum yang apabila dilanggar ada sanksinya, Etika tidak memberi sanksi, kecuali pada Kode Etik yang disepakati, misalnya, Kode Etik Guru, Kode Etik Pengacara, Kode Etik Dokter, dan seterusnya. Pelanggar Kode Etik profesional diberi sanksi oleh lembaga profesional terkait.
Perusahaan yang berorientasi laba tidak berkode etik, melainkan beretika bisnis. Sesungguhnya, seperti kegiatan lainnya, bisnis atau berdagang secara inheren memiliki logika sendiri yaitu memaksimalkan keuntungan. Jika tidak untuk mencari keuntungan, bukan berbisnis namanya. Oleh karena itu, di dalam sistim Ekonomi Kapitalis Liberal, manusia dan juga pelbagai aset lainnya didudukkan sebagai modal perusahaan. Tidak mengherankan bila harkat martabat manusia, dalam dunia Ekonomi semacamnya, terlecehkan demi keuntungan/laba (uang/nilai tukar). Dalam kondisi demikian, Perusahaan pun berubah menjadi ‘gurita raksasa’ yang siap menjerat siapa-siapa yang tidak/kurang membela dan memakmurkannya. Perusahaan besar dan semua unsur yang mewakilinya tampil sebagai ‘Uang Hidup’. Pakaian seragam perusahaan yang semula dimaksudkan sebagai tanda satu korps, penyamarataan tingkat kepegawaian, berubah menjadi identitas karyawan sebagai bagian dari mesin administrasi ’pemupukan kapital/uang’. Alangkah mengerikan, bila manusia pada akhirnya bekerja demi uang/nilai tukar semata, bukan demi martabat sebagai manusia profesional.
Sistem Ekonomi apapun yang diberlakukan, baik yang disebut Ekonomi Kapitalis Liberal ataupun sistem Ekonomi Kerakyatan atau Ekonomi Pancasila sekalipun, tidak berpengaruh pada sistem Ekonomi mikro, yang tujuannya adalah memaksimalkan keuntungan. Jadi kiranya perlu dibedakan antara tujuan berdagang dengan Etika Usaha /Bisnis yang berkewajiban berkontribusi pada kesejahteraan, keselamatan pelanggan, penumpang, pegawai dan sebagainya. Etika Bisnis dalam usaha dagang menghimbau agar kegiatan mencari keuntungan tetap berada dalam rambu-rambu kejujuran dan non-keserakahan.
Yang penting dalam kehidupan bersama sebagai sesama manusia, adalah menyadari, bahwa dalam upaya mencari nafkah perlu mengingat hajat orang banyak yang sama-sama ingin memenuhi kebutuhan hidupnya, agar dapat hidup layak. Bagi Perusahaan yang berkesempatan memberi kehidupan para Pemilik Usaha beserta Karyawannya dalam kesejahteraan yang berkelebihan, perlu kiranya memikirkan mereka yang kurang beruntung. Itulah makna, kurang lebih, Corporate Social Responsibility sebagai hak dan kewajiban setiap Perusahaan yang tertuang dalam Corporate Culture (Kode Etik) Perusahaan Lokal/Nasional/Multi Nasional.
Istilah Industeri Kreatif dan Implementasinya Di Propinsi DIY
Penggunaan istilah ‘budaya’ menurut Kuntjaraningrat (1964), tidak dimaksudkan hanya sebagai produk seni. ‘Budaya’ adalah seluruh sikap dan cara berpikir manusia dalam menyikapi peradaban hidupnya. Kuntjaraningrat membedakan dua kategori proses pembudayaan manusia, yaitu lewat pemaknaan (ilmu pengetahuan) dan simbolisasi (produk seni, bahasa, matematik).
Istilah Industri Kreatif perlu dicermati sebagai dua pengertian yang berbeda. 1) industri kreatif yang berarti kegiatan yang berkaitan dengan imajinasi simbol budaya, berbeda dengan industri pangan dan pakan hewan; 2) industri kreatif sebagai badan usaha yang memilih kreativitas sebagai komoditi. 3) Prinsip-Prinsip Etika Bisnis berlaku dalam industri apapun, termasuk Industri Kreatif.
Setiap usaha yang bergerak dalam Industri Usaha Kecil dan Menengah, termasuk Industri Kreatif seyogyanya proaktif dalam menyambut penyelenggaraan serta pelaksanaan CSR di bidang usaha masing-masing sebagai salah satu syarat mendapatkan imbas CSR dari BPD-DIY atau pun Perusahaan Multi Nasional lainnya.
Peran CSR dalam pengembangan Industri Kreatif di Propinsi Ngayogyakarta Hadiningrat hendaknya tidak terbatas pada masalah dana saja, tetapi juga mencakup kualitas produk kreatifitas itu sendiri dan sistem pemasaran serta pasarnya sekaligus. Tidak kalah pentingnya adalah bantuan terselenggaranya Hak Cipta Produk Kreatif, agar tidak terjadi peristiwa pengakuan penciptaan atau penjiplakan serta pembajakan dari oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
Pada jalur distribusi terjadi ketidak adilan, bila para pengrajin dengan keterbatasan ketrampilan dan finansial harus menyerahkan karyanya pada bakul kulakan dengan harga sangat minim. Setelah melalui jalan panjang dari hulu ke hilir, ketika sampai di Pasar, harga jual obyek dagang menggelembung. Hal ini jelas menterpurukkan para Pengrajin secara finansial, juga sekaligus merugikan Konsumen. Betapa tidak, Konsumen harus membayar ‘mahal’ barang dengan harga yang tidak seimbang dengan kualitas kerajinan yang dibelinya.
Demi kemaslahatan masyarakat Pengrajin, dan kepuasan masyarakat Konsumen pecinta seni Kerajinan, Pemerintah Daerah perlu menetapkan Kerajinan Rakyat sebagai komoditi Ekonomi bernilai tinggi. Seiring dengan itu, kiranya CSR Perusahaan Multi Nasional dan BPD-DIY perlu mendukung dan membantu menyelenggarakan pendidikan desain serta pelatihan ketrampilan finishing yang bermutu. Dengan adanya aneka ragam kerajinan dan kesenian Rakyat (folklore), kiranya Pemerintah Daerah dengan bantuan Institut Seni perlu menggali kembali dan mempelajari serta meneliti produk simbolisasi budaya mana yang dapat di putuskan sebagai komoditi kreatif yang punya nilai jual. Dengan demikian, diharapkan dapat terjadi pengembangan dan pengayaan serta peningkatan mutu Industri Kreatif Lokal sebagai alternatif dari Tee-Shirt, atau komoditi Global tiruan lainnya.
Yogyakarta, 21 November 2008
Hj. DR. Dri Arbaningsih Soeleiman SS. MPhil
BANGSA INDONESIA DALAM TEGANGAN LOKAL-GLOBAL
Latar Belakang
Beberapa tahun setelah kemerdekaan Indonesia tercapai, Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno, melakukan kegiatan pendidikan di Istana Merdeka, yaitu kursus tentang Pancasila selama beberapa minggu. Salah satu topik pengajaran yang disampaikan Bung Karno adalah tentang Kebangsaan. Dalam pelbagai pidato tentang Kebangsaan, Bung Karno selalu mengutip teori Kebangsan Ernest Renan yang bunyinya: Solidaritas agung yang terbentuk oleh pengalaman penderitaan bersama. Kutipan tersebut memberi kesan, bahwa pengalaman dalam kebersamaan yang penuh derita, mendorong rasa bersatu dalam diri setiap manusia. Dalam konteks Indonesia, pluralisme rakyat yang terdiri dari pelbagai etnik tidak menggoyahkan kehendak mereka untuk bersatu menjadi satu Bangsa yang sama-sama pernah mengalami penjajahan kolonialisme Belanda.
Sebagai seorang Negarawan, politisi dan pejuang kemerdekaan yang telah makan asam garam pembuangan ke pelbagai tempat, misalnya Digul, Tanah Merah, Bengkulu, Bung Karno melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa sesungguhnya rakyat yang bermukim di kawasan Nusantara ini dapat disebut sebagai Bangsa Indonesia. Bung Karno memang berhasil meyakinkan rakyat di seluruh negeri ini, bahwa sesungguhnya mereka adalah Bangsa Indonesia. Dalam kaitannya dengan Sumpah Pemuda 1928, Bung Karno tanpa lelah menjadikan "mimpi" tahun 1928 sebuah kenyataan. Bangsa Indonesia lahir atas kehendak para Pemuda sebelum ia dilahirkan oleh sejarah.
Beberapa teori tentang Bangsa
Bagi Anthony Smith, bangsa adalah komunitas kultural dan Politis. Identitas bangsa dalam konteks ini adalah hasil pencarian melalui sejarah atas dirinya pada masa lalu ke depan. Benedict Anderson melihat bangsa sebagai komunitas persaudaraan yang direka bayangkan (imagined community). Ernst Gellner melihat bangsa sebagai tata komunitas alamiah. Ia bedakan bangsa dengan masyarakat industri sebagai dampak kultur seragam, sementara Negara adalah penjaga kultur seragam tersebut. Eric Hobshawn menyebut bangsa sebagai satu tradisi rekaan untuk menyalurkan insting komunal, penghormatan hymne dan bendera kebangsaan, pahlawan, serta simbol-simbol.
Negara Bangsa vs Globalisasi
Menurut Anthony Giddens, negara bangsa merupakan fenomena historis yang baru muncul pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 dengan karakter sebagai suatu "penyatuan suatu perangkat administratif atas daerah tertentu" (Kenichi Ohmae,1995). Dalam bukunya "Hancurnya Negara Bangsa", ia menulis, bahwa sebagian sejarah manusia itu dilalui tanpa ‘negara’. Negara bukan entitas alami. Masyarakat pemburu, petani suku-suku terpencil di Indonesia tidak ada negara atau organisasi politik apapun yang mengurus mereka. Namun demikian, kondisi tanpa negara bukan berarti tanpa sistem atau mekanisme pemerintahan/manajerial tertentu. Kata Aristoteles, manusia adalah "zoon politikon".
Munculnya negara bangsa diawali oleh pelbagai model sistem negara. Imperium muncul pada abad ke-1 sampai ke-5 pada abad ke-15 sampai dengan abad ke-18. Yang kedua negara feodal, kemudian monarki, monarki absolut dan monarki konstitusional. Di akhir abad ke-20, muncul era globalisasi dimana pola kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya ’teraduk menjadi satu’ tanpa terikat lagi oleh batas-batas negara bangsa. Territorium, kontrol atas kekerasan, struktur kekuasaan impersonal dan legitimasi perlahan mulai kehilangan fungsinya. Kenichi Ohmae menyimpulkan empat I ”biang kerok impotensi negara bangsa”, yaitu industri, investasi, individu, dan informasi.
Lebih jauh, Kenichi menyatakan, bahwa globalisasi mengimplikasikan tidak berartinya lagi jarak regional maupun territorial. Kejadian di suatu tempat, bukan mustahil berdampak pada tempat lain dan berimbas pada tempat lainnya pula. Runtuhnya ekonomi di satu negara dirasakan akibatnya negara lain, ke asusilaan sebuah negara cepat merambat dan menular ke negara lain. Gaya hidup dan cara berpakaian global terlihat di mal-mal di seluruh dunia yang se-akan-akan tanpa sekat lagi. Ekstrimnya, ratusan negara di muka bumi menyatu seakan satu negara, bahkan satu keluarga dalam rumah yang sama.
Kebangsaan, Nasionalisme dan Globalisasi
Ketiga paham di atas terbentuk melalui tiga macam proses yang erat kaitannya dengan bagaimana manusia menyikapi kehidupannya, misalnya proses kulturisasi untuk kebangsaan yang lekat dengan wilayah tanah air, sejarah, bahasa; proses politik mempengaruhi nasionalisme yang tercermin dalam semangat patriotisme terhadap bangsa dan negara; proses internasionalisme membentuk paham globalisasi dimana tidak ada sekat antar bangsa, negara serta budaya. Yang disebut terakhir merupakan mainstream atau trend yang tak terelakkan, karena adanya informasi teknologi canggih melalui internet yang sedang marak di kota-kota besar di Indonesia. Dengan biaya yang relatif sangat murah 3 ribu hingga 5 ribu rupiah saja seseorang dapat menjelajahi cyberspace selama beberapa jam untuk mendapatkan informasi tentang berita dunia mutakhir atau pengetahuan lainnya. Belum lagi ada beberapa cara yang relatif tidak mahal bagi individu dengan keluarganya yang menginginkan dapat mengakses internet dari rumah. Adakah diantara mereka ini yang masih menyadari akan jenis kebangsaannya? Kondisi tersebut di atas, sesungguhnya telah menempatkan Bangsa yang tengah "menjadi" ini dalam posisi sulit dan dilematis seperti yang telah disampaikan dalam paragraf di muka, posisi Bangsa Indonesia dalam ketegangan antara lokal-global.
Nasionalisme rakyat Indonesia pra-kemerdekaan jauh berbeda dengan nasionalisme rakyat Indonesia pascakemerdekaan. Selain kondisi politik negara berbeda, kondisi psikis masyarakat generasi pasca-kemerdekaan pun berbeda. Yang disebut belakangan belum pernah merasakan pahit getirnya menjadi bangsa yang terjajah secara lahir maupun batin. Walaupun terdapat kecintaan kepada tanah air Indonesia, namun bobot dan kualitasnya berbeda. Apa kepentingan semangat nasionalisme pada generasi muda dan apa kegunaannya bagi bangsa dan negara?
Berbeda dengan nasionalisme sebagai produk dari proses berpolitik, kebangsaan atau rasa berbangsa adalah produk dari proses kultur atau budaya, dimana seorang yang berketurunan Jawa, dimanapun ia berada akan tetap merasakan bahwa bahagian dari dirinya berdarah Jawa. Pluralisme bangsa bangsa yang menempati kawasan Nusantara adalah produk budaya, dimana setiap wilayah, berbahasa dan memiliki sejarah serta seni lokal. Itulah sebabnya, bangsa-bangsa daerah di kawasan Nusantara ini, tidak dapat dinafikan kedaerahannya (etnik). Bangsa etnis ini tidak identik dengan “suku”, sebagaimana yang diajarkan di sekolah, bahwa Bangsa Indonesia terdiri dari pelbagai suku bangsa. Yang benar adalah Bangsa Indonesia adalah mozaik dari bangsa-bangsa etnis yang tersebar di seluruh perairan dan tanah Nusantara. Yang dikatakan suku Jawa adalah suku Jawa Banyumas, suku Jawa Kedu, suku Jawa Jawa Mataram dan seterusnya. Begitu pula dengan suku suku bangsa Papua, ada suku Maumere, suku Biak, suku Baliman dsbnya. Suku bangsa Sulawesi Selatan, ada suku bangsa Bone, suku bangsa Luwu, suku bangsa Goa dan seterusnya. Bangsa Indonesia adalah mozaik dari bangsa-bangsa Daerah Kawasan Nusantara (etnis Nusantara).
Kesimpulan dari tulisan ini adalah, bahwa kondisi kekinian dengan penggunaan alat informasi canggih telah mengubah budaya bersikap, berpikir dan bertutur. Apakah sebuah peradaban senantiasa menuntut budaya stagnasi konservatif, atau dinamis, tanpa meninggalkan akar, budayanya? Agar supaya proses perjalanan hidup manusia itu baik, dalam arti ada dinamis, progresif atau konservatif dan berlangsung wajar dan tangguh (solid), sesungguhnya, peradaban manusia tidak dapat meninggalkan akar budayanya.
Disarankan, agar generasi senior memikirkan persoalan ini secara serius, dengan mengadakan temu wicara antar generasi agar supaya generasi penerus tidak kehilangan obor. Perlu diingatkan kepada media cetak, media elektronik dan media layar lebar agar menyadari peran serta mereka di dalam menjaga peradaban Bangsa dan mendidik masyarakat melalui pengangkatan kearifan lokal dari segala aspek. Dengan jalan ini diharapkan agar Indonesia yang rakyatnya multikultural dan plural ini dapat menjadi Bangsa yang lentur dan fleksibel dalam menghadapi ketegangan tarik menarik dengan sikap cerdas dan berbudaya.
DR. Dri Arbaningsih SS.Mphil
Jakarta, November 2007
Beberapa tahun setelah kemerdekaan Indonesia tercapai, Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno, melakukan kegiatan pendidikan di Istana Merdeka, yaitu kursus tentang Pancasila selama beberapa minggu. Salah satu topik pengajaran yang disampaikan Bung Karno adalah tentang Kebangsaan. Dalam pelbagai pidato tentang Kebangsaan, Bung Karno selalu mengutip teori Kebangsan Ernest Renan yang bunyinya: Solidaritas agung yang terbentuk oleh pengalaman penderitaan bersama. Kutipan tersebut memberi kesan, bahwa pengalaman dalam kebersamaan yang penuh derita, mendorong rasa bersatu dalam diri setiap manusia. Dalam konteks Indonesia, pluralisme rakyat yang terdiri dari pelbagai etnik tidak menggoyahkan kehendak mereka untuk bersatu menjadi satu Bangsa yang sama-sama pernah mengalami penjajahan kolonialisme Belanda.
Sebagai seorang Negarawan, politisi dan pejuang kemerdekaan yang telah makan asam garam pembuangan ke pelbagai tempat, misalnya Digul, Tanah Merah, Bengkulu, Bung Karno melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa sesungguhnya rakyat yang bermukim di kawasan Nusantara ini dapat disebut sebagai Bangsa Indonesia. Bung Karno memang berhasil meyakinkan rakyat di seluruh negeri ini, bahwa sesungguhnya mereka adalah Bangsa Indonesia. Dalam kaitannya dengan Sumpah Pemuda 1928, Bung Karno tanpa lelah menjadikan "mimpi" tahun 1928 sebuah kenyataan. Bangsa Indonesia lahir atas kehendak para Pemuda sebelum ia dilahirkan oleh sejarah.
Beberapa teori tentang Bangsa
Bagi Anthony Smith, bangsa adalah komunitas kultural dan Politis. Identitas bangsa dalam konteks ini adalah hasil pencarian melalui sejarah atas dirinya pada masa lalu ke depan. Benedict Anderson melihat bangsa sebagai komunitas persaudaraan yang direka bayangkan (imagined community). Ernst Gellner melihat bangsa sebagai tata komunitas alamiah. Ia bedakan bangsa dengan masyarakat industri sebagai dampak kultur seragam, sementara Negara adalah penjaga kultur seragam tersebut. Eric Hobshawn menyebut bangsa sebagai satu tradisi rekaan untuk menyalurkan insting komunal, penghormatan hymne dan bendera kebangsaan, pahlawan, serta simbol-simbol.
Negara Bangsa vs Globalisasi
Menurut Anthony Giddens, negara bangsa merupakan fenomena historis yang baru muncul pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 dengan karakter sebagai suatu "penyatuan suatu perangkat administratif atas daerah tertentu" (Kenichi Ohmae,1995). Dalam bukunya "Hancurnya Negara Bangsa", ia menulis, bahwa sebagian sejarah manusia itu dilalui tanpa ‘negara’. Negara bukan entitas alami. Masyarakat pemburu, petani suku-suku terpencil di Indonesia tidak ada negara atau organisasi politik apapun yang mengurus mereka. Namun demikian, kondisi tanpa negara bukan berarti tanpa sistem atau mekanisme pemerintahan/manajerial tertentu. Kata Aristoteles, manusia adalah "zoon politikon".
Munculnya negara bangsa diawali oleh pelbagai model sistem negara. Imperium muncul pada abad ke-1 sampai ke-5 pada abad ke-15 sampai dengan abad ke-18. Yang kedua negara feodal, kemudian monarki, monarki absolut dan monarki konstitusional. Di akhir abad ke-20, muncul era globalisasi dimana pola kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya ’teraduk menjadi satu’ tanpa terikat lagi oleh batas-batas negara bangsa. Territorium, kontrol atas kekerasan, struktur kekuasaan impersonal dan legitimasi perlahan mulai kehilangan fungsinya. Kenichi Ohmae menyimpulkan empat I ”biang kerok impotensi negara bangsa”, yaitu industri, investasi, individu, dan informasi.
Lebih jauh, Kenichi menyatakan, bahwa globalisasi mengimplikasikan tidak berartinya lagi jarak regional maupun territorial. Kejadian di suatu tempat, bukan mustahil berdampak pada tempat lain dan berimbas pada tempat lainnya pula. Runtuhnya ekonomi di satu negara dirasakan akibatnya negara lain, ke asusilaan sebuah negara cepat merambat dan menular ke negara lain. Gaya hidup dan cara berpakaian global terlihat di mal-mal di seluruh dunia yang se-akan-akan tanpa sekat lagi. Ekstrimnya, ratusan negara di muka bumi menyatu seakan satu negara, bahkan satu keluarga dalam rumah yang sama.
Kebangsaan, Nasionalisme dan Globalisasi
Ketiga paham di atas terbentuk melalui tiga macam proses yang erat kaitannya dengan bagaimana manusia menyikapi kehidupannya, misalnya proses kulturisasi untuk kebangsaan yang lekat dengan wilayah tanah air, sejarah, bahasa; proses politik mempengaruhi nasionalisme yang tercermin dalam semangat patriotisme terhadap bangsa dan negara; proses internasionalisme membentuk paham globalisasi dimana tidak ada sekat antar bangsa, negara serta budaya. Yang disebut terakhir merupakan mainstream atau trend yang tak terelakkan, karena adanya informasi teknologi canggih melalui internet yang sedang marak di kota-kota besar di Indonesia. Dengan biaya yang relatif sangat murah 3 ribu hingga 5 ribu rupiah saja seseorang dapat menjelajahi cyberspace selama beberapa jam untuk mendapatkan informasi tentang berita dunia mutakhir atau pengetahuan lainnya. Belum lagi ada beberapa cara yang relatif tidak mahal bagi individu dengan keluarganya yang menginginkan dapat mengakses internet dari rumah. Adakah diantara mereka ini yang masih menyadari akan jenis kebangsaannya? Kondisi tersebut di atas, sesungguhnya telah menempatkan Bangsa yang tengah "menjadi" ini dalam posisi sulit dan dilematis seperti yang telah disampaikan dalam paragraf di muka, posisi Bangsa Indonesia dalam ketegangan antara lokal-global.
Nasionalisme rakyat Indonesia pra-kemerdekaan jauh berbeda dengan nasionalisme rakyat Indonesia pascakemerdekaan. Selain kondisi politik negara berbeda, kondisi psikis masyarakat generasi pasca-kemerdekaan pun berbeda. Yang disebut belakangan belum pernah merasakan pahit getirnya menjadi bangsa yang terjajah secara lahir maupun batin. Walaupun terdapat kecintaan kepada tanah air Indonesia, namun bobot dan kualitasnya berbeda. Apa kepentingan semangat nasionalisme pada generasi muda dan apa kegunaannya bagi bangsa dan negara?
Berbeda dengan nasionalisme sebagai produk dari proses berpolitik, kebangsaan atau rasa berbangsa adalah produk dari proses kultur atau budaya, dimana seorang yang berketurunan Jawa, dimanapun ia berada akan tetap merasakan bahwa bahagian dari dirinya berdarah Jawa. Pluralisme bangsa bangsa yang menempati kawasan Nusantara adalah produk budaya, dimana setiap wilayah, berbahasa dan memiliki sejarah serta seni lokal. Itulah sebabnya, bangsa-bangsa daerah di kawasan Nusantara ini, tidak dapat dinafikan kedaerahannya (etnik). Bangsa etnis ini tidak identik dengan “suku”, sebagaimana yang diajarkan di sekolah, bahwa Bangsa Indonesia terdiri dari pelbagai suku bangsa. Yang benar adalah Bangsa Indonesia adalah mozaik dari bangsa-bangsa etnis yang tersebar di seluruh perairan dan tanah Nusantara. Yang dikatakan suku Jawa adalah suku Jawa Banyumas, suku Jawa Kedu, suku Jawa Jawa Mataram dan seterusnya. Begitu pula dengan suku suku bangsa Papua, ada suku Maumere, suku Biak, suku Baliman dsbnya. Suku bangsa Sulawesi Selatan, ada suku bangsa Bone, suku bangsa Luwu, suku bangsa Goa dan seterusnya. Bangsa Indonesia adalah mozaik dari bangsa-bangsa Daerah Kawasan Nusantara (etnis Nusantara).
Kesimpulan dari tulisan ini adalah, bahwa kondisi kekinian dengan penggunaan alat informasi canggih telah mengubah budaya bersikap, berpikir dan bertutur. Apakah sebuah peradaban senantiasa menuntut budaya stagnasi konservatif, atau dinamis, tanpa meninggalkan akar, budayanya? Agar supaya proses perjalanan hidup manusia itu baik, dalam arti ada dinamis, progresif atau konservatif dan berlangsung wajar dan tangguh (solid), sesungguhnya, peradaban manusia tidak dapat meninggalkan akar budayanya.
Disarankan, agar generasi senior memikirkan persoalan ini secara serius, dengan mengadakan temu wicara antar generasi agar supaya generasi penerus tidak kehilangan obor. Perlu diingatkan kepada media cetak, media elektronik dan media layar lebar agar menyadari peran serta mereka di dalam menjaga peradaban Bangsa dan mendidik masyarakat melalui pengangkatan kearifan lokal dari segala aspek. Dengan jalan ini diharapkan agar Indonesia yang rakyatnya multikultural dan plural ini dapat menjadi Bangsa yang lentur dan fleksibel dalam menghadapi ketegangan tarik menarik dengan sikap cerdas dan berbudaya.
DR. Dri Arbaningsih SS.Mphil
Jakarta, November 2007
HAKIKAT PARTAI POLITIK
LATAR BELAKANG
Fungsi partai politik sesungguhnya adalah mewakili kepentingan golongan-golongan dalam masyarakat. Misalnya, golongan nasionalis akan diwakili oleh partai nasionalis, golongan agama, akan diwakili oleh partai agama, dan lain sebagainya. Pada waktu ini partai masih merupakan sekumpulan manusia dengan individual vested interest masing-masing yang menggunakan partai sebagai kendaraan. Dalam situasi demikian, maka jelas bahwa partai sebagai institusi yang mewakili aspirasi masyarakatnya telah menyimpang dari maksud tujuan hakikatnya.
Agar mampu mewakili masyarakatnya, maka partai perlu memiliki peluang untuk membangun dirinya sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya serta diperbolehkan merecall anggotanya yang menjadi DPR/DPRD, bila ternyata fraksi yang mewakili suara rakyat tidak bersikap dan bertindak sebagaimana mestinya. Bila tidak memiliki peluang dan hak recall, maka lembaga demikian tidak dapat disebut sebagai partai.
Beberapa kelemahan partai di Indonesia:
1.Pengambilan keputusan dalam partai seringkali menyimpang dari AD/ART partai, termasuk hal-hal yang menyangkut pendanaan partai, penetapan jenjang jabatan dalam partai/personil, dan tatacara penunjukan anggota partai untuk duduk dalam jabatan pemerintahan.
2. Hasil keputusan tertinggi melalui kongres, rapat-rapat serta musyawarah partai seringkali tidak dilaksanakan oleh anggota partai.
3. Suara anggota sering dikalahkan oleh kekuatan modal
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan adanya calon independen disatu pihak dapat memacu partai untuk memperbaiki diri, tetapi di lain pihak dapat menyulitkan, sebab:
1. Dalam keadaan partai yang masih lemah seperti sekarang ini, maka kehadiran calon independen melenyapkan loyalitas orang terhadap partainya, karena jika dianggap partai tidak menguntungkan, maka orang dapat maju sebagai independen.
2. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan karena demokrasi yang hendak dibangun adalah demokrasi melalui partai atau demokrasi melalui perorangan
3. Jika demokrasi yang akan dibangun adalah melalui partai, maka partai harus diberi prioritas terlebih dahulu untuk berkembang dan menjadi kuat, dan jangan dulu ditampilkan calon independen yang berpotensi melemahkan kekuatan partai.
Rekomendasi:
1. Partai harus benar-benar dapat menampung aspiri masyarakat yang diwakilinya
2. Pendanaan partai harus diatur sehingga tidak terjadi penguasaan partai oleh orang yang memiliki modal besar
3. Partai sendiri harus konsekuen memperbaiki diri terutama dalam menjalankan AD/RT.
4. Jika melihat pada Pembukaan UUD 45 bahwa demokrasi kita berdasarkan perwakilan, maka sesungguhnya tidak terdapat ruang untuk memilih secara langsung perorangan tanpa melalui perwakilan.
Catatan tambahan: sejalan dengan pemikiran: Sofian Effendi, Rektor UGM : “MPR masa bakti 1999-2004 melalui 4 kali “perubahan” sebenarnya telah menetapkan hukum dasar baru yang mengandung ketentuan-ketentuan yang berbeda tentang sistem pemerintahan negara Republik Indonesia, antara lain : (1) kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan langsung oleh rakyat ; (2) MPR hanyalah sekedar majelis pertemuan bersama (joint session assembly) yang tidak punya kewenangan mengubah dan menetapkan UUD, karena bukan merupakan lembaga tertinggi pelaksana kedaulatan rakyat; (3) menggunakan sistem presidensial, dan (4) memisahkan perekonomian nasional dengan kesejahteraan sosial, sehingga mengakibatkan sistem perekonomian Negara tidak lagi dilandasi oleh asas pemerataan dan kekeluargaan untuk menciptakan keadilan sosial, tetapi telah berubah menjadi sistem ekonomi individualistis dan bebas seperti pemikiran ekonomi kapitalistis“
Jakarta, September 2007
DR Dri Arbaningsih SS. MPhil
Fungsi partai politik sesungguhnya adalah mewakili kepentingan golongan-golongan dalam masyarakat. Misalnya, golongan nasionalis akan diwakili oleh partai nasionalis, golongan agama, akan diwakili oleh partai agama, dan lain sebagainya. Pada waktu ini partai masih merupakan sekumpulan manusia dengan individual vested interest masing-masing yang menggunakan partai sebagai kendaraan. Dalam situasi demikian, maka jelas bahwa partai sebagai institusi yang mewakili aspirasi masyarakatnya telah menyimpang dari maksud tujuan hakikatnya.
Agar mampu mewakili masyarakatnya, maka partai perlu memiliki peluang untuk membangun dirinya sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya serta diperbolehkan merecall anggotanya yang menjadi DPR/DPRD, bila ternyata fraksi yang mewakili suara rakyat tidak bersikap dan bertindak sebagaimana mestinya. Bila tidak memiliki peluang dan hak recall, maka lembaga demikian tidak dapat disebut sebagai partai.
Beberapa kelemahan partai di Indonesia:
1.Pengambilan keputusan dalam partai seringkali menyimpang dari AD/ART partai, termasuk hal-hal yang menyangkut pendanaan partai, penetapan jenjang jabatan dalam partai/personil, dan tatacara penunjukan anggota partai untuk duduk dalam jabatan pemerintahan.
2. Hasil keputusan tertinggi melalui kongres, rapat-rapat serta musyawarah partai seringkali tidak dilaksanakan oleh anggota partai.
3. Suara anggota sering dikalahkan oleh kekuatan modal
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan adanya calon independen disatu pihak dapat memacu partai untuk memperbaiki diri, tetapi di lain pihak dapat menyulitkan, sebab:
1. Dalam keadaan partai yang masih lemah seperti sekarang ini, maka kehadiran calon independen melenyapkan loyalitas orang terhadap partainya, karena jika dianggap partai tidak menguntungkan, maka orang dapat maju sebagai independen.
2. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan karena demokrasi yang hendak dibangun adalah demokrasi melalui partai atau demokrasi melalui perorangan
3. Jika demokrasi yang akan dibangun adalah melalui partai, maka partai harus diberi prioritas terlebih dahulu untuk berkembang dan menjadi kuat, dan jangan dulu ditampilkan calon independen yang berpotensi melemahkan kekuatan partai.
Rekomendasi:
1. Partai harus benar-benar dapat menampung aspiri masyarakat yang diwakilinya
2. Pendanaan partai harus diatur sehingga tidak terjadi penguasaan partai oleh orang yang memiliki modal besar
3. Partai sendiri harus konsekuen memperbaiki diri terutama dalam menjalankan AD/RT.
4. Jika melihat pada Pembukaan UUD 45 bahwa demokrasi kita berdasarkan perwakilan, maka sesungguhnya tidak terdapat ruang untuk memilih secara langsung perorangan tanpa melalui perwakilan.
Catatan tambahan: sejalan dengan pemikiran: Sofian Effendi, Rektor UGM : “MPR masa bakti 1999-2004 melalui 4 kali “perubahan” sebenarnya telah menetapkan hukum dasar baru yang mengandung ketentuan-ketentuan yang berbeda tentang sistem pemerintahan negara Republik Indonesia, antara lain : (1) kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan langsung oleh rakyat ; (2) MPR hanyalah sekedar majelis pertemuan bersama (joint session assembly) yang tidak punya kewenangan mengubah dan menetapkan UUD, karena bukan merupakan lembaga tertinggi pelaksana kedaulatan rakyat; (3) menggunakan sistem presidensial, dan (4) memisahkan perekonomian nasional dengan kesejahteraan sosial, sehingga mengakibatkan sistem perekonomian Negara tidak lagi dilandasi oleh asas pemerataan dan kekeluargaan untuk menciptakan keadilan sosial, tetapi telah berubah menjadi sistem ekonomi individualistis dan bebas seperti pemikiran ekonomi kapitalistis“
Jakarta, September 2007
DR Dri Arbaningsih SS. MPhil
BELA NEGARA DARI SISI SOSIAL-BUDAYA (3), Sebuah Pengantar
Pasca Kebangkitan Nasional
100 tahun kebangkitan nasionalisme bangsa-bangsa di Indonesia ditandai dengan kemunduran sikap dan mentalitas warga Bangsa Indonesia. 63 tahun setelah Kemerdekaan, hampir tidak ada prestasi mencolok yang diraih di hampir segala bidang.
Secara umum situasi sosial budaya Bangsa Indonesia mengalami distorsi sebagai konsekuensi dan kemajuan informasi dan teknologi canggih yang membuka pintu cakrawala komunikasi yang luas dan mendunia, tanpa dibarengi dengan disiplin dan pengetahuan yang memadai, mempengaruhi pandangan hidup masyarakat Bangsa Indonesia. Akibatnya terjadilah kemunduran moralitas yang semakin menjauhkan dari kehidupan yang. berkeadilan sosial; angka pengangguran serta kemiskinan meningkat, pembunuhan secara keji bermunculan.
Berdasarkan fenomena di atas, terjelaskanlah, bahwa sesungguhnya, maksud dan tujuan Kemerdekaan belum dipahami. Kenyataan menunjukkan pula, bahwa Kemerdekaan secara politis belum menghantarkan Bangsa Indonesia kepada Bangsa yang mampu menentukan nasib sendiri, bebas dari ketergantungan; Kemiskinan belum memerdekakan Bangsa Indonesia dalam arti ekonomis; Kebodohan belum memerdekakan Bangsa Indonesia secara kultural; Kemerdekaan secara mendasar belum memampukan Bangsa Indonesia memahami aspirasi Tanah-Air, Bangsa dan Negara.
Apa yang patut dan bisa ditawarkan kepada Bangsa Indonesia agar tidak mengalami krisis kesadaran bela negara yang berkepanjangan?
Wawasan Bela Negara (Solidaritas Nasional)
Sebuah Bangsa besar seperti Bangsa Indonesia perlu memiliki sebuah wawasan yang akan menjadi panduan sikap setiap anak bangsa. Wawasan tersebut adalah yang berkenaan dengan perilaku yang tanggap terhadap permasalahan bangsa dan negara; yang berkenaan dengan cinta tanah air; yang mengenal ideologi negaranya; yang memiliki komitmen terhadap apa yang menjadi kewajibannya dalam segala bidang yang ditekuni, serta yang membela kebenaran dan memperjuangkan keadilan sosial. Wawasan tersebut sesungguhnya adalah Wawasan Bela Negara yang tujuannya mengingatkan, bahwa setiap warga dituntut memenuhi janji Proklamasi, yaitu merebut Kemerdekaan: Jembatan Emas yang akan menghantarkan Bangsa Indonesia ke pada kehidupan yang lebih baik, yang berkeadilan, berperi kemanusiaan serta yang membawa keamanan serta kesejahteraan bagi rakyatnya tanpa kecuali.
Bela Negara dari sisi Sosial-Budaya (Ketahanan Budaya)
Pengertian Bela Negara secara totalitas mempunyai mempunyai banyak sisi atau multi faset: cinta tanah-air, nasionalisme tinggi, rela berkorban demi terselenggaranya kehidupan bersama yang aman, adil dan sejahtera, pembinaan watak Ksatria, dan seterusnya. Adapun Bela Negara dari sisi Sosial Budaya secara spesifik adalah mencintai tanah-air dalam sikap yang terbungkus oleh nilai-nilai tekad dan komitmen serta didasari oleh cara pandang (mindset) yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Komitmen yang merupakan sendi ketahanan budaya adalah modal dasar bagi kekuatan sebuah Bangsa dan Negara, yang pada gilirannya akan menjadi landasan kuat bagi terwujudnya ketahanan pangan, ketahanan berbangsa dan bernegara, ketahanan moral, mentalitas bangsa, dan akhirnya akan mewujudkan ketahanan nasional.
Strategi Pemenangan Pemilu
Masyarakat Indonesia yang sudah mengalami beberapa kali penggantian Pemerintahan, tidak mampu lagi mentoleransi janji palsu, angin sorga yang didengung-dengungkan pada musim kampanye pra Pemilu dan lenyap tanpa bekas pada masa pasca Pemilu. Rakyat ingin perubahan nyata. Mereka tidak peduli siapa yang akan memimpin dalam kurun waktu lima tahun mendatang, kecuali pemimpin yang cinta rakyat dan penyelenggara Negara yang dapat dipercaya. Ada tiga hal yang dapat ditawarkan kepada masyarakat:
1. Manusia harus dijadikan modal utama bagi penyelenggaraan Negara, karenanya harus mendapat perlakuan serta perlindungan yang semestinya, yaitu dengan memberikan pendidikan, ketrampilan serta pelatihan yang berkualitas (agar mudah mendapat pekerjaan atau berwiraswasta), layanan kesehatan yang baik, penyediaan perumahan rakyat yang layak serta jaminan masa hari tua.
2. Kehidupan perdesaan yang aman dan sejahtera, dengan membangun kehidupan DESA yang self propelling melalui usaha pembangunan desa (community development) dan pembangunan ekonomi sistem terpadu (koperatif) melalui pembentukan Balai Sentra di setiap Kecamatan
3. Bangsa dan Negara Republik Indonesia didukung oleh komunitas KOTA dan DESA. Kedua wilayah pemukiman harus diselenggarkan sebaik-baiknya dalam suasana berkeadilan sosial. KOTA dan DESA harus merupakan tempat pilihan hidup yang sama kualitasnya. Keduanya beda karena gaya hidup, bukan karena yang satu miskin, yang lain sejahtera; yang satu aman, yang lain tidak.
Buku saku POKKAR perlu segera diterbitkan agar dapat dijadikan bekal untuk kampanye.
Target Legislatif dan Presiden
Dari sejumlah PILKADA yang berlangsung, tampak bahwa masyarakat menghendaki pemimpin yang dekat dengan mereka. Rakyat menjauhi calon pemimpin yang hanya bela diri sendiri, dan mereka tahu siapa calon pemimpin yang sejati dan siapa yang palsu. Oleh karena itu, sangat diharapkan bahwa setiap capres dan caleg menyadari akan hal itu. Sebaliknya, para pihak yang mempunyai kewenangan dalam pemilihan dan penempatan para calon caleg, perlu menggunakan hati nuraninya dalam porsi yang melebihi porsi kesetiakawanan, rikuh, ewuh-pakewuh ataupun rasa sungkan. Dalam definisi Bela Negara dari sisi Sosial-Budaya, posisi dan sikap para politisi menjadi pertaruhan setiap partai dan dampaknya akan dirasakan oleh seluruh Bangsa dan Negara. Betapa tidak, kekeliruan dalam menetapkan caleg dan capres akan menjadi malapetaka bagi seluruh Bangsa. Memiliki bursa negarawan merupakan jalan terbaik, karena setiap partai mempunyai waktu untuk mengobservasi setiap negarawan yang terdaftar dan dapat disampaikan kepada masyarakat secara terbuka, bahkan dapat meminta feed back pula. Rakyat akan mempunyai harapan ke depan karena melihat calon2 pemimpin yang layak memimpin. Rakyat akan merasa aman dan rela diatur oleh penguasa yang bijak, jujur, berpengetahuan luas, berpendidikan tinggi. Berkoalisi atau tidak merupakan strategi berikutnya.
Jakarta, 28 Agustus 2008,
DR Dri Arbaningsih SS. Mphil
Wk Ketua II Bidang Kastrat Sub Bid Sosial Budaya BAPPILU
100 tahun kebangkitan nasionalisme bangsa-bangsa di Indonesia ditandai dengan kemunduran sikap dan mentalitas warga Bangsa Indonesia. 63 tahun setelah Kemerdekaan, hampir tidak ada prestasi mencolok yang diraih di hampir segala bidang.
Secara umum situasi sosial budaya Bangsa Indonesia mengalami distorsi sebagai konsekuensi dan kemajuan informasi dan teknologi canggih yang membuka pintu cakrawala komunikasi yang luas dan mendunia, tanpa dibarengi dengan disiplin dan pengetahuan yang memadai, mempengaruhi pandangan hidup masyarakat Bangsa Indonesia. Akibatnya terjadilah kemunduran moralitas yang semakin menjauhkan dari kehidupan yang. berkeadilan sosial; angka pengangguran serta kemiskinan meningkat, pembunuhan secara keji bermunculan.
Berdasarkan fenomena di atas, terjelaskanlah, bahwa sesungguhnya, maksud dan tujuan Kemerdekaan belum dipahami. Kenyataan menunjukkan pula, bahwa Kemerdekaan secara politis belum menghantarkan Bangsa Indonesia kepada Bangsa yang mampu menentukan nasib sendiri, bebas dari ketergantungan; Kemiskinan belum memerdekakan Bangsa Indonesia dalam arti ekonomis; Kebodohan belum memerdekakan Bangsa Indonesia secara kultural; Kemerdekaan secara mendasar belum memampukan Bangsa Indonesia memahami aspirasi Tanah-Air, Bangsa dan Negara.
Apa yang patut dan bisa ditawarkan kepada Bangsa Indonesia agar tidak mengalami krisis kesadaran bela negara yang berkepanjangan?
Wawasan Bela Negara (Solidaritas Nasional)
Sebuah Bangsa besar seperti Bangsa Indonesia perlu memiliki sebuah wawasan yang akan menjadi panduan sikap setiap anak bangsa. Wawasan tersebut adalah yang berkenaan dengan perilaku yang tanggap terhadap permasalahan bangsa dan negara; yang berkenaan dengan cinta tanah air; yang mengenal ideologi negaranya; yang memiliki komitmen terhadap apa yang menjadi kewajibannya dalam segala bidang yang ditekuni, serta yang membela kebenaran dan memperjuangkan keadilan sosial. Wawasan tersebut sesungguhnya adalah Wawasan Bela Negara yang tujuannya mengingatkan, bahwa setiap warga dituntut memenuhi janji Proklamasi, yaitu merebut Kemerdekaan: Jembatan Emas yang akan menghantarkan Bangsa Indonesia ke pada kehidupan yang lebih baik, yang berkeadilan, berperi kemanusiaan serta yang membawa keamanan serta kesejahteraan bagi rakyatnya tanpa kecuali.
Bela Negara dari sisi Sosial-Budaya (Ketahanan Budaya)
Pengertian Bela Negara secara totalitas mempunyai mempunyai banyak sisi atau multi faset: cinta tanah-air, nasionalisme tinggi, rela berkorban demi terselenggaranya kehidupan bersama yang aman, adil dan sejahtera, pembinaan watak Ksatria, dan seterusnya. Adapun Bela Negara dari sisi Sosial Budaya secara spesifik adalah mencintai tanah-air dalam sikap yang terbungkus oleh nilai-nilai tekad dan komitmen serta didasari oleh cara pandang (mindset) yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Komitmen yang merupakan sendi ketahanan budaya adalah modal dasar bagi kekuatan sebuah Bangsa dan Negara, yang pada gilirannya akan menjadi landasan kuat bagi terwujudnya ketahanan pangan, ketahanan berbangsa dan bernegara, ketahanan moral, mentalitas bangsa, dan akhirnya akan mewujudkan ketahanan nasional.
Strategi Pemenangan Pemilu
Masyarakat Indonesia yang sudah mengalami beberapa kali penggantian Pemerintahan, tidak mampu lagi mentoleransi janji palsu, angin sorga yang didengung-dengungkan pada musim kampanye pra Pemilu dan lenyap tanpa bekas pada masa pasca Pemilu. Rakyat ingin perubahan nyata. Mereka tidak peduli siapa yang akan memimpin dalam kurun waktu lima tahun mendatang, kecuali pemimpin yang cinta rakyat dan penyelenggara Negara yang dapat dipercaya. Ada tiga hal yang dapat ditawarkan kepada masyarakat:
1. Manusia harus dijadikan modal utama bagi penyelenggaraan Negara, karenanya harus mendapat perlakuan serta perlindungan yang semestinya, yaitu dengan memberikan pendidikan, ketrampilan serta pelatihan yang berkualitas (agar mudah mendapat pekerjaan atau berwiraswasta), layanan kesehatan yang baik, penyediaan perumahan rakyat yang layak serta jaminan masa hari tua.
2. Kehidupan perdesaan yang aman dan sejahtera, dengan membangun kehidupan DESA yang self propelling melalui usaha pembangunan desa (community development) dan pembangunan ekonomi sistem terpadu (koperatif) melalui pembentukan Balai Sentra di setiap Kecamatan
3. Bangsa dan Negara Republik Indonesia didukung oleh komunitas KOTA dan DESA. Kedua wilayah pemukiman harus diselenggarkan sebaik-baiknya dalam suasana berkeadilan sosial. KOTA dan DESA harus merupakan tempat pilihan hidup yang sama kualitasnya. Keduanya beda karena gaya hidup, bukan karena yang satu miskin, yang lain sejahtera; yang satu aman, yang lain tidak.
Buku saku POKKAR perlu segera diterbitkan agar dapat dijadikan bekal untuk kampanye.
Target Legislatif dan Presiden
Dari sejumlah PILKADA yang berlangsung, tampak bahwa masyarakat menghendaki pemimpin yang dekat dengan mereka. Rakyat menjauhi calon pemimpin yang hanya bela diri sendiri, dan mereka tahu siapa calon pemimpin yang sejati dan siapa yang palsu. Oleh karena itu, sangat diharapkan bahwa setiap capres dan caleg menyadari akan hal itu. Sebaliknya, para pihak yang mempunyai kewenangan dalam pemilihan dan penempatan para calon caleg, perlu menggunakan hati nuraninya dalam porsi yang melebihi porsi kesetiakawanan, rikuh, ewuh-pakewuh ataupun rasa sungkan. Dalam definisi Bela Negara dari sisi Sosial-Budaya, posisi dan sikap para politisi menjadi pertaruhan setiap partai dan dampaknya akan dirasakan oleh seluruh Bangsa dan Negara. Betapa tidak, kekeliruan dalam menetapkan caleg dan capres akan menjadi malapetaka bagi seluruh Bangsa. Memiliki bursa negarawan merupakan jalan terbaik, karena setiap partai mempunyai waktu untuk mengobservasi setiap negarawan yang terdaftar dan dapat disampaikan kepada masyarakat secara terbuka, bahkan dapat meminta feed back pula. Rakyat akan mempunyai harapan ke depan karena melihat calon2 pemimpin yang layak memimpin. Rakyat akan merasa aman dan rela diatur oleh penguasa yang bijak, jujur, berpengetahuan luas, berpendidikan tinggi. Berkoalisi atau tidak merupakan strategi berikutnya.
Jakarta, 28 Agustus 2008,
DR Dri Arbaningsih SS. Mphil
Wk Ketua II Bidang Kastrat Sub Bid Sosial Budaya BAPPILU
Pelestarian Pusaka vs Pembangunan Ekonomi
abstrak
Pada umumnya, sebuah penulisan dimaksudkan untuk menyampaikan maksud tertentu. Apabila, sebuah penulisan tidak mudah dimengerti, boleh jadi karena penulisnya menggunakan jargon-jargon sulit. Sekiranya ada pembaca yang sulit mengikuti alur pikir penulisan ini karena kurang memahami jargon-jargon penulis, bisa jadi seluruh isi pemikiran dalam penulisan ini menjadi kabur. Kasus demikian perlu dijembatani, yaitu dengan cara terlebih dahulu menyusun glossary dari beberapa pengertian khusus (jargon), agar fungsi jargon dapat dengan tepat didudukkan sebagai alat bantu. Sebaliknya, menggunakan jargon yang kurang tepat (kurang mewakili kenyataan/kebenaran sebuah fenomena), akan memunculkan penulisan yang sulit dipahami. Cara di bawah ini, merupakan sebuah upaya mempermudah proses pengertian pembaca.
Di bawah ini terdapat 9 (sembilan) prakiraan jargon, yang dikutip dari penulisan ini dengan judul Pelestarian Pusaka versus Pembangunan Ekonomi:
1. pembangunan jati diri
2. nilai budaya memudar
3. budaya global
4. pembangunan budaya Nasional
5. program bidang ekonomi
6. penyusun peraturan
7. pelestarian pusaka Indonesia vs pembangunan Ekonomi
8. kenyamanan dan kesejahteraan generasi yang akan datang
9. pembangunan kebudayaan nasional
Penjelasan (glossary)
1. Pembangunan Jati Diri
Jati diri dapat berarti pribadi yang sejati, yang tidak berubah.
Pembangunan, kegiatan yang membuat sesuatu menjadi ada melalui proses. Pembangunan merupakan terjemahan dari development. Sementara itu, terjemahan bebas development, sesungguhnya, adalah membangun-mengembangkan-mengelola-menyempurnakan. Jikalau development hanya diterjemahkan sebagai pembangunan semata, maka yang terjadi adalah kegiatan yang tujuannya membuat yang dituju menjadi ada. Barangkali itu sebabnya, mengapa pembangunan di Indonesia, hanya berhenti pada proses saja, tidak ada kelanjutan dari kegiatan membangun itu. Apa yang dimaksudkan dengan pembangunan jati diri?
2. Nilai budaya memudar
Nilai adalah kata yang menunjukkan produk pertimbangan akal ketika membandingkan. Budaya, adalah 1) produk sistem simbolisasi (seni tari, seni kerajinan, seni ukir, adat istiadat, upacara, seni menulis, sebi lukis). 2) cara manusia memahami kehidupannya sebagaimana yang dipahami maknanya (politik, ekonomi, sosial-budaya). Memudar merupakan kondisi yang berkurang dari kondisi semula. Nilai budaya memudar menjadi ambigu. Kemampuan manusia memahami kehidupannyakah yang memudar atau produk simbolisasinya yang memudar?
3. Budaya global
Global adalah kata yang menunjukkan mendunia, atau diterima dimana-mana.di seluruh dunia. Budaya global adalah produk simbolisasi yang berlaku/berlangsung di seluruh dunia Didominasi negara maju yang memiliki hegemoni dalam menentukan moralitas, perilaku, selera, mode.
4. Pembangunan budaya Nasional
Untuk dapat mendefinisikan budaya Nasional, diperlukan beberapa prerekuisit, yaitu pemahaman tentang nasion dalam arti bangsa dan nasional dalam arti kebangsaan. Wilayah Nusantara didiami oleh pelbagai nasion/bangsa (etnik) yang plural. Dalam kebhinekaannya, bangsa-bangsa Nusantara tampil secara nasional sebagai Bangsa Indonesia. Dengan demikian, budaya nasional merupakan cara bangsa-bangsa Nusantara memahami kehidupannya dalam proses kebangsaannya menjadi Bangsa Indonesia. Ada budaya asli Daerah dan proses pembudayaan Nasional sebagai sikap kebangsaan dari bangsa-bangsa/nasion/etnis Nusantara. Dengan demikian ungkapan pembangunan budaya Nasional sulit dimengerti dan ambigu. Ditambah lagi, budaya sebagai produk simbolisasi atau sebagai produk pemaknaan?
5. Program Bidang Ekonomi
Barangkali yang dimaksudkan adalah program di sektor Ekonomi? Ekonomi adalah salah satu dari enam klasifikasi bidang pendekatan administrasi pemerintahan Republik Indonesia di samping bidang-bidang Ideologi, Politik, Sosial-Budaya, Pertahanan, Keamanan.
6. Penyusun peraturan
Peraturan merupakan produk pengambilan keputusan. Pada umumnya yang melakukan pengambilan keputusan adalah para pemutus kebijakan. Siapa yang dimaksudkan dengan penyusun peraturan dalam hal ini?
7. Pelestarian Pusaka Indonesia versus Pembangunan Ekonomi
Yang dimaksudkan dengan Pusaka Indonesia pastilah produk simbolisasi. Sementara Ekonomi merupakan produk pemaknaan kehidupan dari sisi distribusi pangan, pembagian lahan, penetapan upah tenaga kerja, dan sebagainya. Sesungguhnya kedua ungkapan tidak sepatutnya dipertentangkan, karena keduanya adalah produk budaya yang berbeda jati dirinya: yang satu produk simbolisasi, yang lain produk pemaknaan. Sebaiknya bukan dipertentangkan tetapi diparalelkan. Dengan catatan, istilah pembangunan Ekonomi sebaiknya disempurnakan menjadi pembangunan dan pengembangan ekonomi. Di dunia maju sudah disadari, bahwa perkembangan ekonomi tidak dapat lepas dari kehidupan sosial-budaya manusia.Oleh karenanya, istilah yang digunakan di negeri maju adalah sosio-ekonomi. Di Indonesia untuk ungkapan yang sama digunakan istilah Ekonomi Rakyat. Di negara maju, sosio-ekonomi hanya bisa dikelola oleh knowledge society, bila di Indonesiakan menjadi masyarakat cerdas, sama dengan amanah Mukadimmah UUD 1945, pencerdasan kehidupan bangsa.
8. Kenyamanan dan kesejahteraan generasi yang akan datang
Merupakan kekeliruan besar, bila generasi sekarang mengintervensi kebudayaan generasi yang akan datang. Selain absurd, juga tidak manusiawi. Manusia adalah makhluk yang diberi perangkat oleh alam (Allah SWT) untuk survival. Karena itu, setiap anak manusia “hidup pada jamannya”. Yang teramat sangat penting dilakukan oleh generasi sekarang adalah tidak menghancurkan peradaban tanpa menyisakan sedikitpun bagi generasi mendatang, agar supaya mereka tetap mampu berkebudayaan, menyelenggarakan kehidupan sesuai dengan sistem simbolisasi serta sistem pemaknaan demi budaya jamannya. Setiap generasi punya budaya jamannya. Alangkah tidak adilnya bila generasi berikutnya tidak menghargai dan menghormati produk budaya generasi pendahulunya, atau mempusakakannya sebagai suatu yang sangat berharga sehingga perlu dilindungi dan diabadikan. Barangkali begitulah makna cultural heritage.
9. Pembangunan Kebudayaan Nasional
Barangkali yang dimaksudkan adalah,pembangunan dan pengembangan serta penyempurnaan sistem simbolisasi dan sistem pemaknaan bangsa-bangsa Nusantara, dalam kehidupan berkebangsaan Indonesia.
Kesimpulan
Merujuk kepada glossary di atas, maka ungkapan pada judul akan lebih tepat bila kedua ungkapan tidak dipertentangkan, melainkan dipersandingkan/diparalelkan. Produk simbolisasi (pusaka Indonesia) dengan proses pengadaan, pengembangan, penyempurnaan (pembangunan) untuk produk pemaknaan (ekonomi). Dengan demikian, persoalan yang dihadapi oleh BPPI sesungguhnya bukan hanya masalah apa itu melestarikan pusaka, kriterianya,inventarisasi, melainkan bagaimana mengelolanya, memanfaatkannya sebagai obyek pariwisata, obyek sejarah, obyek antropologi. Disini muncul, perlunya intervensi Ekonomi, tepatnya sosio-ekonomi atau ekonomi kerakyatan. Musium pameran atau musium instalasi merupakan sarana yang belum tergantikan sampai sekarang. Usul judul : Pelestarian Pusaka Indonesia dalam kaitannya dengan pengembangan Musium Instalasi untuk meningkatkan Pariwisata dan kehidupan sosial masyarakat.
Jakarta, Agustus 2008
DR Dri Arbaningsih SS. MPhil
Pada umumnya, sebuah penulisan dimaksudkan untuk menyampaikan maksud tertentu. Apabila, sebuah penulisan tidak mudah dimengerti, boleh jadi karena penulisnya menggunakan jargon-jargon sulit. Sekiranya ada pembaca yang sulit mengikuti alur pikir penulisan ini karena kurang memahami jargon-jargon penulis, bisa jadi seluruh isi pemikiran dalam penulisan ini menjadi kabur. Kasus demikian perlu dijembatani, yaitu dengan cara terlebih dahulu menyusun glossary dari beberapa pengertian khusus (jargon), agar fungsi jargon dapat dengan tepat didudukkan sebagai alat bantu. Sebaliknya, menggunakan jargon yang kurang tepat (kurang mewakili kenyataan/kebenaran sebuah fenomena), akan memunculkan penulisan yang sulit dipahami. Cara di bawah ini, merupakan sebuah upaya mempermudah proses pengertian pembaca.
Di bawah ini terdapat 9 (sembilan) prakiraan jargon, yang dikutip dari penulisan ini dengan judul Pelestarian Pusaka versus Pembangunan Ekonomi:
1. pembangunan jati diri
2. nilai budaya memudar
3. budaya global
4. pembangunan budaya Nasional
5. program bidang ekonomi
6. penyusun peraturan
7. pelestarian pusaka Indonesia vs pembangunan Ekonomi
8. kenyamanan dan kesejahteraan generasi yang akan datang
9. pembangunan kebudayaan nasional
Penjelasan (glossary)
1. Pembangunan Jati Diri
Jati diri dapat berarti pribadi yang sejati, yang tidak berubah.
Pembangunan, kegiatan yang membuat sesuatu menjadi ada melalui proses. Pembangunan merupakan terjemahan dari development. Sementara itu, terjemahan bebas development, sesungguhnya, adalah membangun-mengembangkan-mengelola-menyempurnakan. Jikalau development hanya diterjemahkan sebagai pembangunan semata, maka yang terjadi adalah kegiatan yang tujuannya membuat yang dituju menjadi ada. Barangkali itu sebabnya, mengapa pembangunan di Indonesia, hanya berhenti pada proses saja, tidak ada kelanjutan dari kegiatan membangun itu. Apa yang dimaksudkan dengan pembangunan jati diri?
2. Nilai budaya memudar
Nilai adalah kata yang menunjukkan produk pertimbangan akal ketika membandingkan. Budaya, adalah 1) produk sistem simbolisasi (seni tari, seni kerajinan, seni ukir, adat istiadat, upacara, seni menulis, sebi lukis). 2) cara manusia memahami kehidupannya sebagaimana yang dipahami maknanya (politik, ekonomi, sosial-budaya). Memudar merupakan kondisi yang berkurang dari kondisi semula. Nilai budaya memudar menjadi ambigu. Kemampuan manusia memahami kehidupannyakah yang memudar atau produk simbolisasinya yang memudar?
3. Budaya global
Global adalah kata yang menunjukkan mendunia, atau diterima dimana-mana.di seluruh dunia. Budaya global adalah produk simbolisasi yang berlaku/berlangsung di seluruh dunia Didominasi negara maju yang memiliki hegemoni dalam menentukan moralitas, perilaku, selera, mode.
4. Pembangunan budaya Nasional
Untuk dapat mendefinisikan budaya Nasional, diperlukan beberapa prerekuisit, yaitu pemahaman tentang nasion dalam arti bangsa dan nasional dalam arti kebangsaan. Wilayah Nusantara didiami oleh pelbagai nasion/bangsa (etnik) yang plural. Dalam kebhinekaannya, bangsa-bangsa Nusantara tampil secara nasional sebagai Bangsa Indonesia. Dengan demikian, budaya nasional merupakan cara bangsa-bangsa Nusantara memahami kehidupannya dalam proses kebangsaannya menjadi Bangsa Indonesia. Ada budaya asli Daerah dan proses pembudayaan Nasional sebagai sikap kebangsaan dari bangsa-bangsa/nasion/etnis Nusantara. Dengan demikian ungkapan pembangunan budaya Nasional sulit dimengerti dan ambigu. Ditambah lagi, budaya sebagai produk simbolisasi atau sebagai produk pemaknaan?
5. Program Bidang Ekonomi
Barangkali yang dimaksudkan adalah program di sektor Ekonomi? Ekonomi adalah salah satu dari enam klasifikasi bidang pendekatan administrasi pemerintahan Republik Indonesia di samping bidang-bidang Ideologi, Politik, Sosial-Budaya, Pertahanan, Keamanan.
6. Penyusun peraturan
Peraturan merupakan produk pengambilan keputusan. Pada umumnya yang melakukan pengambilan keputusan adalah para pemutus kebijakan. Siapa yang dimaksudkan dengan penyusun peraturan dalam hal ini?
7. Pelestarian Pusaka Indonesia versus Pembangunan Ekonomi
Yang dimaksudkan dengan Pusaka Indonesia pastilah produk simbolisasi. Sementara Ekonomi merupakan produk pemaknaan kehidupan dari sisi distribusi pangan, pembagian lahan, penetapan upah tenaga kerja, dan sebagainya. Sesungguhnya kedua ungkapan tidak sepatutnya dipertentangkan, karena keduanya adalah produk budaya yang berbeda jati dirinya: yang satu produk simbolisasi, yang lain produk pemaknaan. Sebaiknya bukan dipertentangkan tetapi diparalelkan. Dengan catatan, istilah pembangunan Ekonomi sebaiknya disempurnakan menjadi pembangunan dan pengembangan ekonomi. Di dunia maju sudah disadari, bahwa perkembangan ekonomi tidak dapat lepas dari kehidupan sosial-budaya manusia.Oleh karenanya, istilah yang digunakan di negeri maju adalah sosio-ekonomi. Di Indonesia untuk ungkapan yang sama digunakan istilah Ekonomi Rakyat. Di negara maju, sosio-ekonomi hanya bisa dikelola oleh knowledge society, bila di Indonesiakan menjadi masyarakat cerdas, sama dengan amanah Mukadimmah UUD 1945, pencerdasan kehidupan bangsa.
8. Kenyamanan dan kesejahteraan generasi yang akan datang
Merupakan kekeliruan besar, bila generasi sekarang mengintervensi kebudayaan generasi yang akan datang. Selain absurd, juga tidak manusiawi. Manusia adalah makhluk yang diberi perangkat oleh alam (Allah SWT) untuk survival. Karena itu, setiap anak manusia “hidup pada jamannya”. Yang teramat sangat penting dilakukan oleh generasi sekarang adalah tidak menghancurkan peradaban tanpa menyisakan sedikitpun bagi generasi mendatang, agar supaya mereka tetap mampu berkebudayaan, menyelenggarakan kehidupan sesuai dengan sistem simbolisasi serta sistem pemaknaan demi budaya jamannya. Setiap generasi punya budaya jamannya. Alangkah tidak adilnya bila generasi berikutnya tidak menghargai dan menghormati produk budaya generasi pendahulunya, atau mempusakakannya sebagai suatu yang sangat berharga sehingga perlu dilindungi dan diabadikan. Barangkali begitulah makna cultural heritage.
9. Pembangunan Kebudayaan Nasional
Barangkali yang dimaksudkan adalah,pembangunan dan pengembangan serta penyempurnaan sistem simbolisasi dan sistem pemaknaan bangsa-bangsa Nusantara, dalam kehidupan berkebangsaan Indonesia.
Kesimpulan
Merujuk kepada glossary di atas, maka ungkapan pada judul akan lebih tepat bila kedua ungkapan tidak dipertentangkan, melainkan dipersandingkan/diparalelkan. Produk simbolisasi (pusaka Indonesia) dengan proses pengadaan, pengembangan, penyempurnaan (pembangunan) untuk produk pemaknaan (ekonomi). Dengan demikian, persoalan yang dihadapi oleh BPPI sesungguhnya bukan hanya masalah apa itu melestarikan pusaka, kriterianya,inventarisasi, melainkan bagaimana mengelolanya, memanfaatkannya sebagai obyek pariwisata, obyek sejarah, obyek antropologi. Disini muncul, perlunya intervensi Ekonomi, tepatnya sosio-ekonomi atau ekonomi kerakyatan. Musium pameran atau musium instalasi merupakan sarana yang belum tergantikan sampai sekarang. Usul judul : Pelestarian Pusaka Indonesia dalam kaitannya dengan pengembangan Musium Instalasi untuk meningkatkan Pariwisata dan kehidupan sosial masyarakat.
Jakarta, Agustus 2008
DR Dri Arbaningsih SS. MPhil
BELA NEGARA DARI SISI SOSIAL-BUDAYA (2)
Pasca Kebangkitan Nasional
100 tahun kebangkitan nasionalisme bangsa-bangsa di Indonesia ditandai dengan kemunduran sikap dan mentalitas warga Bangsa Indonesia. 63 tahun setelah Kemerdekaan, hampir tidak ada prestasi mencolok yang diraih di hampir segala bidang.
Secara umum situasi sosial budaya Bangsa Indonesia mengalami distorsi sebagai konsekuensi dan kemajuan informasi dan teknologi canggih yang membuka pintu cakrawala komunikasi yang luas dan mendunia, tanpa dibarengi dengan disiplin dan pengetahuan yang memadai, mempengaruhi pandangan hidup masyarakat Bangsa Indonesia. Akibatnya terjadilah kemunduran moralitas yang semakin menjauhkan dari kehidupan yang. berkeadilan sosial; angka pengangguran serta kemiskinan meningkat, pembunuhan secara keji bermunculan.
Berdasarkan fenomena di atas, terjelaskanlah, bahwa sesungguhnya, maksud dan tujuan Kemerdekaan belum dipahami. Kenyataan menunjukkan pula, bahwa Kemerdekaan secara politis belum menghantarkan Bangsa Indonesia kepada Bangsa yang mampu menentukan nasib sendiri, bebas dari ketergantungan; Kemiskinan belum memerdekakan Bangsa Indonesia dalam arti ekonomis; Kebodohan belum memerdekakan Bangsa Indonesia secara kultural; Kemerdekaan secara mendasar belum memampukan Bangsa Indonesia memahami aspirasi Tanah-Air, Bangsa dan Negara.
Apa yang patut dan bisa ditawarkan kepada Bangsa Indonesia agar tidak mengalami krisis kesadaran bela negara yang berkepanjangan?
Wawasan Bela Negara (Solidaritas Nasional)
Sebuah Bangsa besar seperti Bangsa Indonesia perlu memiliki sebuah wawasan yang akan menjadi panduan sikap setiap anak bangsa. Wawasan tersebut adalah yang berkenaan dengan perilaku yang tanggap terhadap permasalahan bangsa dan negara; yang berkenaan dengan cinta tanah air; yang mengenal ideologi negaranya; yang memiliki komitmen terhadap apa yang menjadi kewajibannya dalam segala bidang yang ditekuni, serta yang membela kebenaran dan memperjuangkan keadilan sosial. Wawasan tersebut sesungguhnya adalah Wawasan Bela Negara yang tujuannya mengingatkan, bahwa setiap warga dituntut memenuhi janji Proklamasi, yaitu merebut Kemerdekaan: Jembatan Emas yang akan menghantarkan Bangsa Indonesia ke pada kehidupan yang lebih baik, yang berkeadilan, berperi kemanusiaan serta yang membawa keamanan serta kesejahteraan bagi rakyatnya tanpa kecuali.
Bela Negara dari sisi Sosial-Budaya (Ketahanan Budaya)
Pengertian Bela Negara secara totalitas mempunyai mempunyai banyak sisi atau multi faset: cinta tanah-air, nasionalisme tinggi, rela berkorban demi terselenggaranya kehidupan bersama yang aman, adil dan sejahtera, pembinaan watak Ksatria, dan seterusnya. Adapun Bela Negara dari sisi Sosial Budaya secara spesifik adalah mencintai tanah-air dalam sikap yang terbungkus oleh nilai-nilai tekad dan komitmen serta didasari oleh cara pandang (mindset) yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Komitmen yang merupakan sendi ketahanan budaya adalah modal dasar bagi kekuatan sebuah Bangsa dan Negara, yang pada gilirannya akan menjadi landasan kuat bagi terwujudnya ketahanan pangan, ketahanan berbangsa dan bernegara, ketahanan moral, mentalitas bangsa, dan akhirnya akan mewujudkan ketahanan nasional.
Strategi Pemenangan Pemilu
Masyarakat Indonesia yang sudah mengalami beberapa kali penggantian Pemerintahan, tidak mampu lagi mentoleransi janji palsu, angin sorga yang didengung-dengungkan pada musim kampanye pra Pemilu dan lenyap tanpa bekas pada masa pasca Pemilu. Rakyat ingin perubahan nyata. Mereka tidak peduli siapa yang akan memimpin dalam kurun waktu lima tahun mendatang, kecuali pemimpin yang cinta rakyat dan penyelenggara Negara yang dapat dipercaya. Ada tiga hal yang dapat ditawarkan kepada masyarakat:
1. Manusia harus dijadikan modal utama bagi penyelenggaraan Negara, karenanya harus mendapat perlakuan serta perlindungan yang semestinya, yaitu dengan memberikan pendidikan, ketrampilan serta pelatihan yang berkualitas (agar mudah mendapat pekerjaan atau berwiraswasta), layanan kesehatan yang baik, penyediaan perumahan rakyat yang layak serta jaminan masa hari tua.
2. Kehidupan perdesaan yang aman dan sejahtera, dengan membangun kehidupan DESA yang self propelling melalui usaha pembangunan desa (community development) dan pembangunan ekonomi sistem terpadu (koperatif) melalui pembentukan Balai Sentra di setiap Kecamatan
3. Bangsa dan Negara Republik Indonesia didukung oleh komunitas KOTA dan DESA. Kedua wilayah pemukiman harus diselenggarkan sebaik-baiknya dalam suasana berkeadilan sosial. KOTA dan DESA harus merupakan tempat pilihan hidup yang sama kualitasnya. Keduanya beda karena gaya hidup, bukan karena yang satu miskin, yang lain sejahtera; yang satu aman, yang lain tidak.
Buku saku POKKAR perlu segera diterbitkan agar dapat dijadikan bekal untuk kampanye.
Target Legislatif dan Presiden
Dari sejumlah PILKADA yang berlangsung, tampak bahwa masyarakat menghendaki pemimpin yang dekat dengan mereka. Rakyat menjauhi calon pemimpin yang hanya bela diri sendiri, dan mereka tahu siapa calon pemimpin yang sejati dan siapa yang palsu. Oleh karena itu, sangat diharapkan bahwa setiap capres dan caleg menyadari akan hal itu. Sebaliknya, para pihak yang mempunyai kewenangan dalam pemilihan dan penempatan para calon caleg, perlu menggunakan hati nuraninya dalam porsi yang melebihi porsi kesetiakawanan, rikuh, ewuh-pakewuh ataupun rasa sungkan. Dalam definisi Bela Negara dari sisi Sosial-Budaya, posisi dan sikap para politisi menjadi pertaruhan setiap partai dan dampaknya akan dirasakan oleh seluruh Bangsa dan Negara. Betapa tidak, kekeliruan dalam menetapkan caleg dan capres akan menjadi malapetaka bagi seluruh Bangsa. Memiliki bursa negarawan merupakan jalan terbaik, karena setiap partai mempunyai waktu untuk mengobservasi setiap negarawan yang terdaftar dan dapat disampaikan kepada masyarakat secara terbuka, bahkan dapat meminta feed back pula. Rakyat akan mempunyai harapan ke depan karena melihat calon2 pemimpin yang layak memimpin. Rakyat akan merasa aman dan rela diatur oleh penguasa yang bijak, jujur, berpengetahuan luas, berpendidikan tinggi. Berkoalisi atau tidak merupakan strategi berikutnya.
Jakarta, 28 Agustus 2008, DR Dri Arbaningsih SS. MPhil
100 tahun kebangkitan nasionalisme bangsa-bangsa di Indonesia ditandai dengan kemunduran sikap dan mentalitas warga Bangsa Indonesia. 63 tahun setelah Kemerdekaan, hampir tidak ada prestasi mencolok yang diraih di hampir segala bidang.
Secara umum situasi sosial budaya Bangsa Indonesia mengalami distorsi sebagai konsekuensi dan kemajuan informasi dan teknologi canggih yang membuka pintu cakrawala komunikasi yang luas dan mendunia, tanpa dibarengi dengan disiplin dan pengetahuan yang memadai, mempengaruhi pandangan hidup masyarakat Bangsa Indonesia. Akibatnya terjadilah kemunduran moralitas yang semakin menjauhkan dari kehidupan yang. berkeadilan sosial; angka pengangguran serta kemiskinan meningkat, pembunuhan secara keji bermunculan.
Berdasarkan fenomena di atas, terjelaskanlah, bahwa sesungguhnya, maksud dan tujuan Kemerdekaan belum dipahami. Kenyataan menunjukkan pula, bahwa Kemerdekaan secara politis belum menghantarkan Bangsa Indonesia kepada Bangsa yang mampu menentukan nasib sendiri, bebas dari ketergantungan; Kemiskinan belum memerdekakan Bangsa Indonesia dalam arti ekonomis; Kebodohan belum memerdekakan Bangsa Indonesia secara kultural; Kemerdekaan secara mendasar belum memampukan Bangsa Indonesia memahami aspirasi Tanah-Air, Bangsa dan Negara.
Apa yang patut dan bisa ditawarkan kepada Bangsa Indonesia agar tidak mengalami krisis kesadaran bela negara yang berkepanjangan?
Wawasan Bela Negara (Solidaritas Nasional)
Sebuah Bangsa besar seperti Bangsa Indonesia perlu memiliki sebuah wawasan yang akan menjadi panduan sikap setiap anak bangsa. Wawasan tersebut adalah yang berkenaan dengan perilaku yang tanggap terhadap permasalahan bangsa dan negara; yang berkenaan dengan cinta tanah air; yang mengenal ideologi negaranya; yang memiliki komitmen terhadap apa yang menjadi kewajibannya dalam segala bidang yang ditekuni, serta yang membela kebenaran dan memperjuangkan keadilan sosial. Wawasan tersebut sesungguhnya adalah Wawasan Bela Negara yang tujuannya mengingatkan, bahwa setiap warga dituntut memenuhi janji Proklamasi, yaitu merebut Kemerdekaan: Jembatan Emas yang akan menghantarkan Bangsa Indonesia ke pada kehidupan yang lebih baik, yang berkeadilan, berperi kemanusiaan serta yang membawa keamanan serta kesejahteraan bagi rakyatnya tanpa kecuali.
Bela Negara dari sisi Sosial-Budaya (Ketahanan Budaya)
Pengertian Bela Negara secara totalitas mempunyai mempunyai banyak sisi atau multi faset: cinta tanah-air, nasionalisme tinggi, rela berkorban demi terselenggaranya kehidupan bersama yang aman, adil dan sejahtera, pembinaan watak Ksatria, dan seterusnya. Adapun Bela Negara dari sisi Sosial Budaya secara spesifik adalah mencintai tanah-air dalam sikap yang terbungkus oleh nilai-nilai tekad dan komitmen serta didasari oleh cara pandang (mindset) yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Komitmen yang merupakan sendi ketahanan budaya adalah modal dasar bagi kekuatan sebuah Bangsa dan Negara, yang pada gilirannya akan menjadi landasan kuat bagi terwujudnya ketahanan pangan, ketahanan berbangsa dan bernegara, ketahanan moral, mentalitas bangsa, dan akhirnya akan mewujudkan ketahanan nasional.
Strategi Pemenangan Pemilu
Masyarakat Indonesia yang sudah mengalami beberapa kali penggantian Pemerintahan, tidak mampu lagi mentoleransi janji palsu, angin sorga yang didengung-dengungkan pada musim kampanye pra Pemilu dan lenyap tanpa bekas pada masa pasca Pemilu. Rakyat ingin perubahan nyata. Mereka tidak peduli siapa yang akan memimpin dalam kurun waktu lima tahun mendatang, kecuali pemimpin yang cinta rakyat dan penyelenggara Negara yang dapat dipercaya. Ada tiga hal yang dapat ditawarkan kepada masyarakat:
1. Manusia harus dijadikan modal utama bagi penyelenggaraan Negara, karenanya harus mendapat perlakuan serta perlindungan yang semestinya, yaitu dengan memberikan pendidikan, ketrampilan serta pelatihan yang berkualitas (agar mudah mendapat pekerjaan atau berwiraswasta), layanan kesehatan yang baik, penyediaan perumahan rakyat yang layak serta jaminan masa hari tua.
2. Kehidupan perdesaan yang aman dan sejahtera, dengan membangun kehidupan DESA yang self propelling melalui usaha pembangunan desa (community development) dan pembangunan ekonomi sistem terpadu (koperatif) melalui pembentukan Balai Sentra di setiap Kecamatan
3. Bangsa dan Negara Republik Indonesia didukung oleh komunitas KOTA dan DESA. Kedua wilayah pemukiman harus diselenggarkan sebaik-baiknya dalam suasana berkeadilan sosial. KOTA dan DESA harus merupakan tempat pilihan hidup yang sama kualitasnya. Keduanya beda karena gaya hidup, bukan karena yang satu miskin, yang lain sejahtera; yang satu aman, yang lain tidak.
Buku saku POKKAR perlu segera diterbitkan agar dapat dijadikan bekal untuk kampanye.
Target Legislatif dan Presiden
Dari sejumlah PILKADA yang berlangsung, tampak bahwa masyarakat menghendaki pemimpin yang dekat dengan mereka. Rakyat menjauhi calon pemimpin yang hanya bela diri sendiri, dan mereka tahu siapa calon pemimpin yang sejati dan siapa yang palsu. Oleh karena itu, sangat diharapkan bahwa setiap capres dan caleg menyadari akan hal itu. Sebaliknya, para pihak yang mempunyai kewenangan dalam pemilihan dan penempatan para calon caleg, perlu menggunakan hati nuraninya dalam porsi yang melebihi porsi kesetiakawanan, rikuh, ewuh-pakewuh ataupun rasa sungkan. Dalam definisi Bela Negara dari sisi Sosial-Budaya, posisi dan sikap para politisi menjadi pertaruhan setiap partai dan dampaknya akan dirasakan oleh seluruh Bangsa dan Negara. Betapa tidak, kekeliruan dalam menetapkan caleg dan capres akan menjadi malapetaka bagi seluruh Bangsa. Memiliki bursa negarawan merupakan jalan terbaik, karena setiap partai mempunyai waktu untuk mengobservasi setiap negarawan yang terdaftar dan dapat disampaikan kepada masyarakat secara terbuka, bahkan dapat meminta feed back pula. Rakyat akan mempunyai harapan ke depan karena melihat calon2 pemimpin yang layak memimpin. Rakyat akan merasa aman dan rela diatur oleh penguasa yang bijak, jujur, berpengetahuan luas, berpendidikan tinggi. Berkoalisi atau tidak merupakan strategi berikutnya.
Jakarta, 28 Agustus 2008, DR Dri Arbaningsih SS. MPhil
PENTINGNYA BURSA NEGARAWAN BAGI PARTAI GOLKAR DALAM ERA MULTI PARTAI
Dalam pidatonya pada rapat tentang Pilkada pada tanggal 8 Juli 2008 lalu, Ketua Umum Partai Golkar yang juga berkedudukan sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, menyatakan bahwa Pilkada adalah pemilihan Kepala Daerah, yang tidak identik dengan Pemilihan Legislatif dimana kontestannya adalah partai. Contoh yang dikemukakannya adalah, bahwa kemenangan Partai Golkar pada Pilkada DKI, tidak serta merta membuat partai koalisi lawan Partai Golkar kalah semua. Meskipun Partai Golkar mengalami “kekalahan” demi “kekalahan” dalam hampir semua putaran Pilkada di sebagian besar Propinsi, tidak berarti Partai Golkar, sebagai lembaga, kalah dalam keseluruhan.
Mengapa PDIP unggul dalam sebagian besar Pilkada? Kemenangan besar PDIP diperoleh dari kegiatan Ketua Umumnya, Megawati, turun ke daerah-daerah, dan memperhatikan calon-calon yang dikehendaki masyarakat Daerah. Megawati punya “bursa negarawan” Daerah favorit masyarakat setempat. Dengan sendirinya, masyarakat setempat yang ingin perubahan memilih pemimpin yang dipercayai akan membuat perubahan. PDIP menang bukan karena Megawati pribadi, tetapi Megawati berhasil mengangkat pribadi-pribadi kepercayaan masyarakat setempat. Ini menunjukkan PDIP sangat aspiratif terhadap kehendak Masyarakat.
Bagaimana dengan Partai Golkar? Sistem dan metode apa yang telah digunakan Partai Golkar di dalam memilih pasangan Pimpinan Daerah sebagai penyebab kekalahan dari satu Pilkada ke lainnya? Dikuatirkan, strategi yang digunakan Partai Golkar kurang memperhatikan dan mempertimbangkan pelbagai kekuatiran masyarakat;misalnya, bahwa calon Pilkada pilihan Pemerintah yang menaikkan BBM dan dianggap menyengsarakan masyarakat, dapat dipastikan akan berbuat yang sama, bila telah menjadi Kepala Daerah. Bila asumsi ini benar, tidak pelak lagi, Partai Golkar akan menghadapi situasi sulit. Hal ini semakin parah, bila 1) Partai Golkar enggan mengubah politik dan strategi dalam memilih “Jago”nya dalam kontes Pilkada, Pemilu Legislatif serta Capres untuk 2009-2014. 2) Partai Golkar bersikap angkuh menganggap enteng lawan dengan mengandalkan “kejayaan masa lalu”. Oleh karena itu, meskipun kenyataannya Partai Golkar kalah dalam banyak PILKADA, namun, ‘nyawa’ Partai Golkar masih dapat diselamatkan, hanya dengan modal jiwa besar, yaitu Partai Golkar dengan legowo menerima dan bersedia belajar dari kekalahannya, berintrospeksi diri dan mengambil langkah-langkah ksatria dalam manouver politiknya.
Di dalam kurun waktu yang tinggal 9 bulan sebelum hari Pemilu legislatif, partai Golkar seyogyanya melakukan beberapa langkah dasar, yaitu melakukan konsolidasi internal, menyatukan langkah dalam kebersamaan, meninggalkan sikap egoistik, dan mengutamakan Bela Negara daripada kepentingan pribadi. Dengan semangat demikian diharapkan Partai Golkar akan mampu tampil sebagai kendaraan tepercaya, yang akan menghantarkan masyarakat ke dalam dunia kekaryaan yang fungsional, yang akan membuat Bangsa Indonesia berjaya! Itulah doktrin Partai Golkar yang hendaknya merupakan motor penggerak bagi semua Kader dan Fungsionaris Partai Golkar. Jadi, bukan Partai Golkar yang Berkarya untuk Bangsa, tetapi Partai Golkar menjadi mitra tepercaya yang akan menggiring dan mendampingi masyarakat agar berkarya untuk Kejayaan Bangsa: Percaya, Berkarya, Berjaya!
Seperti yag dilakukan PDIP dalam mengumpulkan “negarawan lokal”, maka seyogyanya Partai Golkar pun melakukan yang sama, yaitu membangun Bursa Negarawan Nasional, baik dari kalangan Partai Golkar sendiri atau pun masyarakat non-partisan dari kalangan Sipil (independen) yang berkaliber nasional/tradisional, berprestasi khususnya untuk Capres, misalnya mantan Gubernur, berwawasan maritim, bersih KPK, dipercaya masyarakat dan seterusnya. Melalui tim Pencitraan Partai Golkar di Media TV, biarlah masyarakat sendiri yang menilai kualitas para Negarawan pilihan Partai Golkar tersebut melalui serangkaian pertanyaan yang diajukan kepada mereka mengenai bela negara, visi/misi mereka terhadap NKRI sebagai negara maritim dan lain sebagainya yang menyangkut Cita2 Proklamasi secara bergantian. Dengan jalan demikian, mudah-mudahan persepsi masyarakat tentang segi negatif (kalau pun masih ada) Partai Golkar akan buyar. Sebagai gantinya (diharapkan), timbul persepsi baru: kepercayaan (trust), bahwa Partai Golkar adalah mitra masyarakat, tepercaya, partai yang bela negara serta memberikan kesempatan masyarakat untuk memilih putra Bangsa yang terbaik (tentunya menurut versi Partai Golkar yang menyadari, bahwa menyelenggarakan negeri ini tidak semudah membalikkan telapak tangan). Oleh karenanya pemilihan para kandidat Bursa Negarawan tidak patut bila dilaksanakan secara gegabah dan serampangan.
Siapa bilang PILKADA identik dengan PEMILU? Arti lainnya, Kepala Negara tidak selalu harus Ketua Umum Partai. Meski PDIP menang di sejumlah PILKADA, belum tentu Ketua Umumnya menjadi Kepala negara RI, karena, Bangsa Indonesia masih bersandar kepada kualitas ketokohan Pemimpin, belum kepada Organisasinya. Siapa gak setuju?
Waktu berlalu tanpa kompromi, semoga Partai Golkar tidak menyia-nyiakan waktu selagi masih bisa berkompromi, semoga.
Jakarta, 11 Juli 2008
Wakil Ketua II Bidang KASTRAT Sub Bid SOSBUD
DR Dri Arbaningsih SS. MPhil
Mengapa PDIP unggul dalam sebagian besar Pilkada? Kemenangan besar PDIP diperoleh dari kegiatan Ketua Umumnya, Megawati, turun ke daerah-daerah, dan memperhatikan calon-calon yang dikehendaki masyarakat Daerah. Megawati punya “bursa negarawan” Daerah favorit masyarakat setempat. Dengan sendirinya, masyarakat setempat yang ingin perubahan memilih pemimpin yang dipercayai akan membuat perubahan. PDIP menang bukan karena Megawati pribadi, tetapi Megawati berhasil mengangkat pribadi-pribadi kepercayaan masyarakat setempat. Ini menunjukkan PDIP sangat aspiratif terhadap kehendak Masyarakat.
Bagaimana dengan Partai Golkar? Sistem dan metode apa yang telah digunakan Partai Golkar di dalam memilih pasangan Pimpinan Daerah sebagai penyebab kekalahan dari satu Pilkada ke lainnya? Dikuatirkan, strategi yang digunakan Partai Golkar kurang memperhatikan dan mempertimbangkan pelbagai kekuatiran masyarakat;misalnya, bahwa calon Pilkada pilihan Pemerintah yang menaikkan BBM dan dianggap menyengsarakan masyarakat, dapat dipastikan akan berbuat yang sama, bila telah menjadi Kepala Daerah. Bila asumsi ini benar, tidak pelak lagi, Partai Golkar akan menghadapi situasi sulit. Hal ini semakin parah, bila 1) Partai Golkar enggan mengubah politik dan strategi dalam memilih “Jago”nya dalam kontes Pilkada, Pemilu Legislatif serta Capres untuk 2009-2014. 2) Partai Golkar bersikap angkuh menganggap enteng lawan dengan mengandalkan “kejayaan masa lalu”. Oleh karena itu, meskipun kenyataannya Partai Golkar kalah dalam banyak PILKADA, namun, ‘nyawa’ Partai Golkar masih dapat diselamatkan, hanya dengan modal jiwa besar, yaitu Partai Golkar dengan legowo menerima dan bersedia belajar dari kekalahannya, berintrospeksi diri dan mengambil langkah-langkah ksatria dalam manouver politiknya.
Di dalam kurun waktu yang tinggal 9 bulan sebelum hari Pemilu legislatif, partai Golkar seyogyanya melakukan beberapa langkah dasar, yaitu melakukan konsolidasi internal, menyatukan langkah dalam kebersamaan, meninggalkan sikap egoistik, dan mengutamakan Bela Negara daripada kepentingan pribadi. Dengan semangat demikian diharapkan Partai Golkar akan mampu tampil sebagai kendaraan tepercaya, yang akan menghantarkan masyarakat ke dalam dunia kekaryaan yang fungsional, yang akan membuat Bangsa Indonesia berjaya! Itulah doktrin Partai Golkar yang hendaknya merupakan motor penggerak bagi semua Kader dan Fungsionaris Partai Golkar. Jadi, bukan Partai Golkar yang Berkarya untuk Bangsa, tetapi Partai Golkar menjadi mitra tepercaya yang akan menggiring dan mendampingi masyarakat agar berkarya untuk Kejayaan Bangsa: Percaya, Berkarya, Berjaya!
Seperti yag dilakukan PDIP dalam mengumpulkan “negarawan lokal”, maka seyogyanya Partai Golkar pun melakukan yang sama, yaitu membangun Bursa Negarawan Nasional, baik dari kalangan Partai Golkar sendiri atau pun masyarakat non-partisan dari kalangan Sipil (independen) yang berkaliber nasional/tradisional, berprestasi khususnya untuk Capres, misalnya mantan Gubernur, berwawasan maritim, bersih KPK, dipercaya masyarakat dan seterusnya. Melalui tim Pencitraan Partai Golkar di Media TV, biarlah masyarakat sendiri yang menilai kualitas para Negarawan pilihan Partai Golkar tersebut melalui serangkaian pertanyaan yang diajukan kepada mereka mengenai bela negara, visi/misi mereka terhadap NKRI sebagai negara maritim dan lain sebagainya yang menyangkut Cita2 Proklamasi secara bergantian. Dengan jalan demikian, mudah-mudahan persepsi masyarakat tentang segi negatif (kalau pun masih ada) Partai Golkar akan buyar. Sebagai gantinya (diharapkan), timbul persepsi baru: kepercayaan (trust), bahwa Partai Golkar adalah mitra masyarakat, tepercaya, partai yang bela negara serta memberikan kesempatan masyarakat untuk memilih putra Bangsa yang terbaik (tentunya menurut versi Partai Golkar yang menyadari, bahwa menyelenggarakan negeri ini tidak semudah membalikkan telapak tangan). Oleh karenanya pemilihan para kandidat Bursa Negarawan tidak patut bila dilaksanakan secara gegabah dan serampangan.
Siapa bilang PILKADA identik dengan PEMILU? Arti lainnya, Kepala Negara tidak selalu harus Ketua Umum Partai. Meski PDIP menang di sejumlah PILKADA, belum tentu Ketua Umumnya menjadi Kepala negara RI, karena, Bangsa Indonesia masih bersandar kepada kualitas ketokohan Pemimpin, belum kepada Organisasinya. Siapa gak setuju?
Waktu berlalu tanpa kompromi, semoga Partai Golkar tidak menyia-nyiakan waktu selagi masih bisa berkompromi, semoga.
Jakarta, 11 Juli 2008
Wakil Ketua II Bidang KASTRAT Sub Bid SOSBUD
DR Dri Arbaningsih SS. MPhil
BELA NEGARA DARI SISI SOSIAL BUDAYA
Pendahuluan
Gagasan Bela Negara dari sisi sosial budaya, terinspirasi dari sebuah buku khusus tentang kartupos yang dikirim oleh orang-orang Belanda yang bermukim atau sedang berlibur di Hindia Belanda (nama wilayah perairan Nusantara atau Indonesia di era penjajahan Pemerintah Otonomi Hindia Belanda), untuk sanak saudara, dan kerabat mereka yang tinggal di Nederland di awal abad 20. Jumlah kartupos yang dipublikasikan sebanyak 500 ratus buah. Tema dari gambar yang menghiasi seluruh kartupos tersebut, ialah mengenai seluk beluk sosial-budaya, kondisi alam dan lingkungan Hindia Belanda dalam bentuk gambar atau potret, bahkan lukisan terpampang pada sisi kartupos. Begitu besar ketertarikan Bangsa Belanda terhadap sosial budaya tanah jajahannya. Oleh karenanya, di era itu, segala hal yang berbau Hindia Belanda menjadi populer di kalangan orang Belanda yang hidup di sebuah Kerajaan kecil di sebelah Barat Daya benua Eropah, dari rijs-tafel (nasi dengan lauk-pauknya) sampai artefak Nusantara (ribuan jumlahnya di Tropen Museum, Amsterdam).
Pemandangan indah pada kartupos sebanyak 500 ratus buah tersebut, menimbulkan rasa kagum dan haru akan indahnya Nusantara bila tertata rapih, meski miskin dan sederhana, tidak ada Mall dan bangunan bertingkat; tidak ada jalan tol dan mobil mewah; indahnya rumah adat yang tampak anggun, terlebih anggun bila dibandingkan dengan perumahan baru di kawasan Cibubur yang meniru pelbagai bentuk arsitektur asing, atau rumah besar-besar berkaca dan bertiang raksasa, penyangga serambi depan yang dibangun tanpa makna. Atau, rumah berdempet-dempet tanpa sistem kekerabatan yang jelas tidak seperti Rumah Panjang di Kalimantan, atau Rumah Bagonjong di Minangkabau dan sebagainya.
Akan tetapi, bila memandang manusia yang terlihat lalu lalang dengan kaki telanjang, tanpa sandal jepit; yang bekerja sebagai buruh perkebunan, jongos restoran, penari ledek jalanan, peminum madat (opium), dan lain sebagainya, tepatlah bila dititipkan amanah “pencerdasan kehidupan bangsa” di dalam Mukadimmah Undang-Undang 1945 oleh para perintis Kemerdekaan.
Tahun ini, Bangsa Indonesia memperingati seratus tahun Kebangkitan Nasional. Muncul jargon baru: INDONESIA BISA. Persoalannya adalah, bukan saja kebisaan Indonesia itu harus jelas ruang lingkupnya, tetapi juga harus jelas maksud dan tujuannya. Simbol dari Indonesia Bisa digelar di Stadion Senayan pada tanggal bersejarah itu, yaitu 20 Mei, dalam bentuk sebuah pagelaran spektakuler yang barangkali dimaksudkan untuk menunjukkan kebisaan Indonesia itu. Baiklah. Konon pagelaran itu memang luar biasa untuk ukuran Indonesia. Namun, seusai itu, apa? Bukankah “kebisaan” itu bak obor yang harus terus-menerus dinyalakan? Yang mana perlu didahulukan, obor atau apinya? Tentu saja kedua-duanya. Tanpa api, obor bukanlah obor, tanpa obor api akan padam. Demikian juga arti bela negara. Bela adalah api semangatnya, negara adalah obornya. Kebisaan Indonesia baru akan terwujud dalam bela negara. Tanpa bela negara, boleh jadi Indonesia tidak bisa..apa-apa.
Dalam kaitannya dengan Hindia Belanda 100 tahun lalu, kekinian Indonesia adalah 100 tahun kemudiannya Hindia Belanda, bila tanpa Kemerdekaan. Kenyatannya, Kemerdekaan itu ada. Adakah ia membawa apa-apa? Survey membuktikan belum apa-apa. Masih banyak kemiskinan, kebodohan, kemerosotan akhlak, narkoba, dan sebagainya. Lalu, dimana kebisaan Indonesia supaya terjadi apa-apa? Tentu saja dalam Bela Negara. Bela Negara diawali dengan tekat (api) dan dilanjuti dengan komitmen (obor). Tekat dan Komitmen merupakan indikator Bela Negara agar Indonesia Bisa apa-apa.
Jakarta, 23 Juli 2008
DR Dri Arbaningsih SS Mphil
Gagasan Bela Negara dari sisi sosial budaya, terinspirasi dari sebuah buku khusus tentang kartupos yang dikirim oleh orang-orang Belanda yang bermukim atau sedang berlibur di Hindia Belanda (nama wilayah perairan Nusantara atau Indonesia di era penjajahan Pemerintah Otonomi Hindia Belanda), untuk sanak saudara, dan kerabat mereka yang tinggal di Nederland di awal abad 20. Jumlah kartupos yang dipublikasikan sebanyak 500 ratus buah. Tema dari gambar yang menghiasi seluruh kartupos tersebut, ialah mengenai seluk beluk sosial-budaya, kondisi alam dan lingkungan Hindia Belanda dalam bentuk gambar atau potret, bahkan lukisan terpampang pada sisi kartupos. Begitu besar ketertarikan Bangsa Belanda terhadap sosial budaya tanah jajahannya. Oleh karenanya, di era itu, segala hal yang berbau Hindia Belanda menjadi populer di kalangan orang Belanda yang hidup di sebuah Kerajaan kecil di sebelah Barat Daya benua Eropah, dari rijs-tafel (nasi dengan lauk-pauknya) sampai artefak Nusantara (ribuan jumlahnya di Tropen Museum, Amsterdam).
Pemandangan indah pada kartupos sebanyak 500 ratus buah tersebut, menimbulkan rasa kagum dan haru akan indahnya Nusantara bila tertata rapih, meski miskin dan sederhana, tidak ada Mall dan bangunan bertingkat; tidak ada jalan tol dan mobil mewah; indahnya rumah adat yang tampak anggun, terlebih anggun bila dibandingkan dengan perumahan baru di kawasan Cibubur yang meniru pelbagai bentuk arsitektur asing, atau rumah besar-besar berkaca dan bertiang raksasa, penyangga serambi depan yang dibangun tanpa makna. Atau, rumah berdempet-dempet tanpa sistem kekerabatan yang jelas tidak seperti Rumah Panjang di Kalimantan, atau Rumah Bagonjong di Minangkabau dan sebagainya.
Akan tetapi, bila memandang manusia yang terlihat lalu lalang dengan kaki telanjang, tanpa sandal jepit; yang bekerja sebagai buruh perkebunan, jongos restoran, penari ledek jalanan, peminum madat (opium), dan lain sebagainya, tepatlah bila dititipkan amanah “pencerdasan kehidupan bangsa” di dalam Mukadimmah Undang-Undang 1945 oleh para perintis Kemerdekaan.
Tahun ini, Bangsa Indonesia memperingati seratus tahun Kebangkitan Nasional. Muncul jargon baru: INDONESIA BISA. Persoalannya adalah, bukan saja kebisaan Indonesia itu harus jelas ruang lingkupnya, tetapi juga harus jelas maksud dan tujuannya. Simbol dari Indonesia Bisa digelar di Stadion Senayan pada tanggal bersejarah itu, yaitu 20 Mei, dalam bentuk sebuah pagelaran spektakuler yang barangkali dimaksudkan untuk menunjukkan kebisaan Indonesia itu. Baiklah. Konon pagelaran itu memang luar biasa untuk ukuran Indonesia. Namun, seusai itu, apa? Bukankah “kebisaan” itu bak obor yang harus terus-menerus dinyalakan? Yang mana perlu didahulukan, obor atau apinya? Tentu saja kedua-duanya. Tanpa api, obor bukanlah obor, tanpa obor api akan padam. Demikian juga arti bela negara. Bela adalah api semangatnya, negara adalah obornya. Kebisaan Indonesia baru akan terwujud dalam bela negara. Tanpa bela negara, boleh jadi Indonesia tidak bisa..apa-apa.
Dalam kaitannya dengan Hindia Belanda 100 tahun lalu, kekinian Indonesia adalah 100 tahun kemudiannya Hindia Belanda, bila tanpa Kemerdekaan. Kenyatannya, Kemerdekaan itu ada. Adakah ia membawa apa-apa? Survey membuktikan belum apa-apa. Masih banyak kemiskinan, kebodohan, kemerosotan akhlak, narkoba, dan sebagainya. Lalu, dimana kebisaan Indonesia supaya terjadi apa-apa? Tentu saja dalam Bela Negara. Bela Negara diawali dengan tekat (api) dan dilanjuti dengan komitmen (obor). Tekat dan Komitmen merupakan indikator Bela Negara agar Indonesia Bisa apa-apa.
Jakarta, 23 Juli 2008
DR Dri Arbaningsih SS Mphil
Langganan:
Postingan (Atom)