Pendahuluan
Dalam saresehan Selasa Wage-an Yogya Semesta ke-XVI yang baru lalu, tidak seperti biasa, suasana kali ini bernuansa non-jawa, globalistik serta high-tech. Topik diskusi berkisar seputar makna, peran dan fungsi Industri Kreatif di lingkungan Propinsi DIY, peran dan fungsi IT, maksud dan tujuan corporate social responsibility menurut pemahaman Pemakalah, serta himbauan para Panelis lainnya agar Industri Kreatif ini mendapat dukungan pemerintah Daerah lewat BPD-DIY. Masalahnya, menurut kajian British Council bersama Universitas Bina Nusantara, Industri Kreatif (creative industry) di lingkungan Propinsi DIY tersebut mampu menyumbangkan produk domestik bruto (PDB) senilai Rp. 300 triliun atau sekitar 10 persen dari total PDB Nasional. (buletin Yogya Semesta edisi ke-XV ? ), selain menyerap tenaga kerja. Karena memiliki keunggulan pada aspek ‘budaya, pendidikan, pariwisata dan kerajinan’ (ibid), maka Pemerintah Daerah Ngayogyakarta Hadiningrat tampaknya akan menggunakan peluang tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui dukungannya terhadap Industri Kreatif. Di bawah ini disampaikan ulasan singkat tentang makna serta peran penting corporate social responsibility menurut konsep umum dan pengimplementasiannya di Propinsi Ngayogyakarta Hadiningrat.
Konsep Umum
Dalam masyarakat yang menganut sistem Ekonomi Kapitalisitik Liberal, maka tujuan utama yang hendak dicapai adalah keuntungan atau profit yang sebesar-besarnya. Karena pada umumnya kondisi sosial ekonomi masyarakat tidak sama, maka terdapatlah lapisan strata masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi berbeda. Oleh karena itulah para ilmuwan Etika atau para Etisi berpendapat kondisi demikian memicu situasi tidak adil. Pada tahun 60-an, para Etisi Mancanegara merumuskan derivasi Etika Normatif tentang aplikasi nilai-nilai etis dalam pelbagai tema kehidupan, yang mereka sebut Etika Terapan. Salah satu produk awal mereka adalah Etika Bisnis, dimana setiap Korporasi Multi Nasional (MNC) berkewajiban turut menjaga pelestarian Alam, lingkungan serta menyelenggarakan kesejahteraan manusianya di areal mereka beroperasi. Kewajiban tersebut disebut CSR (Corporate Social Responsibility).
Dalam lingkup mikronya, CSR ialah tuntutan kepada Lembaga Usaha Asing/Nasional agar di dalam melaksanakan kegiatan usahanya memperhatikan faktor-faktor keselamatan dan kesejahteraan manusia, baik di luar lingkungan tempat kerja maupun di dalam tempat kerja. Sebelum diberlakukan CSR, berbagai perusahaan dari pelbagai jenis usaha hanya mementingkan serta memaksimalkan keuntungan semata. Contoh: Perusahaan Garment dengan tempat kerja yang tidak layak karena kurang ventilasi; pabrik cat yang tidak memperhatikan kesehatan paru2 karyawan; perusahaan obat2an yang membuat obat berbahaya bagi kesehatan konsumen bila dikonsumsi dalam jangka panjang; perusahaan pelayaran dan penerbangan yang kurang memperhatikan keselamatan penumpang, dan seterusnya.
Bagi investor Asing, CSR merupakan keharusan/kewajiban, utamanya bila mereka mendirikan perusahaan dengan pabriknya di daerah pedalaman (inland) dengan membuka lahan untuk kawasan pabrik dengan pemukiman karyawannya. Tampilan dan kondisi pemukiman tersebut seyogyanya tidak terlalu berbeda dengan tampilan dan kondisi pemukiman lingkungan lokal. Artinya, perusahaan tidak dibenarkan mengubah situasi lokal yang non-teknis secara berlebihan, melainkan justru diharuskan membantu memperbaiki situasi dan kondisi lingkungan agar lebih baik, walaupun tidak sama kualitasnya. Atau sebaliknya, perumahan karyawan pabrik tidak dibenarkan berada di bawah standar pemukiman penduduk. Dengan demikian, CSR bagi investor Asing, bukan hanya berarti mendapatkan hak untuk melakukan usahanya, tetapi juga mempunyai kewajiban menaikkan kualitas hidup masyarakat lingkungan pabrik. Sangat diharapkan para investor Asing turut mencerdaskan kehidupan Desa di lingkungan tempat mereka beroperasi, dan turut meningkatkan potensi angkatan kerja lokal melalui pelbagai pendidikan dan pelatihan dan diberi kesempatan untuk magang.
Di beberapa Negara Eropa Barat, seperti Belanda, pajak pendapatan tinggi, sampai hampir 60%, karena dianggap tidak adil, bila dalam satu negara terdapat perbedaan tingkat pendapatan dan kualitas hidup yang mencolok di antara sesama warga. Oleh karena itu, bagi yang berpenghasilan tinggi, dikenai kewajiban “memikirkan nasib sesama” melalui pajak pendapatan yang signifikan. Apa yang dilakukan oleh Negara-Negara maju terhadap warganya merupakan contoh kongkrit betapa nilai keadilan sosial dijunjung tinggi yang diberlakukan serta dilaksanakan secara konsekuen.
Dari kaca mata Pancasila, kegiatan usaha dagang yang melulu mementingkan keuntungan semata dan semacamnya, jelas melanggar sila Peri Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, seyogyanya para Pebisnis atau Pengusaha Nasional merujuk kepada rambu-rambu yang dirumuskan dalam etika bisnis atau etika usaha perihal sikap dan perilaku pedagang, mana yang baik/buruk; mana yang benar/salah. Dalam perkembangannya semenjak tahun 60-an, berawal dari rumusan tentang Etika Bisnis dan Etika Kedokteran (bio ethics), para ilmuwan Etika merambah ke pelbagai disiplin ilmu terapan lainnya, misalnya Etika Akuntansi, Etika Pemerintahan, Etika Jurnalistik, Etika Kepemimpinan, Etika Kekuasaan Politik, Etika Politik Kekuasaan dan lain sebagainya.
Berbeda dengan Hukum yang apabila dilanggar ada sanksinya, Etika tidak memberi sanksi, kecuali pada Kode Etik yang disepakati, misalnya, Kode Etik Guru, Kode Etik Pengacara, Kode Etik Dokter, dan seterusnya. Pelanggar Kode Etik profesional diberi sanksi oleh lembaga profesional terkait.
Perusahaan yang berorientasi laba tidak berkode etik, melainkan beretika bisnis. Sesungguhnya, seperti kegiatan lainnya, bisnis atau berdagang secara inheren memiliki logika sendiri yaitu memaksimalkan keuntungan. Jika tidak untuk mencari keuntungan, bukan berbisnis namanya. Oleh karena itu, di dalam sistim Ekonomi Kapitalis Liberal, manusia dan juga pelbagai aset lainnya didudukkan sebagai modal perusahaan. Tidak mengherankan bila harkat martabat manusia, dalam dunia Ekonomi semacamnya, terlecehkan demi keuntungan/laba (uang/nilai tukar). Dalam kondisi demikian, Perusahaan pun berubah menjadi ‘gurita raksasa’ yang siap menjerat siapa-siapa yang tidak/kurang membela dan memakmurkannya. Perusahaan besar dan semua unsur yang mewakilinya tampil sebagai ‘Uang Hidup’. Pakaian seragam perusahaan yang semula dimaksudkan sebagai tanda satu korps, penyamarataan tingkat kepegawaian, berubah menjadi identitas karyawan sebagai bagian dari mesin administrasi ’pemupukan kapital/uang’. Alangkah mengerikan, bila manusia pada akhirnya bekerja demi uang/nilai tukar semata, bukan demi martabat sebagai manusia profesional.
Sistem Ekonomi apapun yang diberlakukan, baik yang disebut Ekonomi Kapitalis Liberal ataupun sistem Ekonomi Kerakyatan atau Ekonomi Pancasila sekalipun, tidak berpengaruh pada sistem Ekonomi mikro, yang tujuannya adalah memaksimalkan keuntungan. Jadi kiranya perlu dibedakan antara tujuan berdagang dengan Etika Usaha /Bisnis yang berkewajiban berkontribusi pada kesejahteraan, keselamatan pelanggan, penumpang, pegawai dan sebagainya. Etika Bisnis dalam usaha dagang menghimbau agar kegiatan mencari keuntungan tetap berada dalam rambu-rambu kejujuran dan non-keserakahan.
Yang penting dalam kehidupan bersama sebagai sesama manusia, adalah menyadari, bahwa dalam upaya mencari nafkah perlu mengingat hajat orang banyak yang sama-sama ingin memenuhi kebutuhan hidupnya, agar dapat hidup layak. Bagi Perusahaan yang berkesempatan memberi kehidupan para Pemilik Usaha beserta Karyawannya dalam kesejahteraan yang berkelebihan, perlu kiranya memikirkan mereka yang kurang beruntung. Itulah makna, kurang lebih, Corporate Social Responsibility sebagai hak dan kewajiban setiap Perusahaan yang tertuang dalam Corporate Culture (Kode Etik) Perusahaan Lokal/Nasional/Multi Nasional.
Istilah Industeri Kreatif dan Implementasinya Di Propinsi DIY
Penggunaan istilah ‘budaya’ menurut Kuntjaraningrat (1964), tidak dimaksudkan hanya sebagai produk seni. ‘Budaya’ adalah seluruh sikap dan cara berpikir manusia dalam menyikapi peradaban hidupnya. Kuntjaraningrat membedakan dua kategori proses pembudayaan manusia, yaitu lewat pemaknaan (ilmu pengetahuan) dan simbolisasi (produk seni, bahasa, matematik).
Istilah Industri Kreatif perlu dicermati sebagai dua pengertian yang berbeda. 1) industri kreatif yang berarti kegiatan yang berkaitan dengan imajinasi simbol budaya, berbeda dengan industri pangan dan pakan hewan; 2) industri kreatif sebagai badan usaha yang memilih kreativitas sebagai komoditi. 3) Prinsip-Prinsip Etika Bisnis berlaku dalam industri apapun, termasuk Industri Kreatif.
Setiap usaha yang bergerak dalam Industri Usaha Kecil dan Menengah, termasuk Industri Kreatif seyogyanya proaktif dalam menyambut penyelenggaraan serta pelaksanaan CSR di bidang usaha masing-masing sebagai salah satu syarat mendapatkan imbas CSR dari BPD-DIY atau pun Perusahaan Multi Nasional lainnya.
Peran CSR dalam pengembangan Industri Kreatif di Propinsi Ngayogyakarta Hadiningrat hendaknya tidak terbatas pada masalah dana saja, tetapi juga mencakup kualitas produk kreatifitas itu sendiri dan sistem pemasaran serta pasarnya sekaligus. Tidak kalah pentingnya adalah bantuan terselenggaranya Hak Cipta Produk Kreatif, agar tidak terjadi peristiwa pengakuan penciptaan atau penjiplakan serta pembajakan dari oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
Pada jalur distribusi terjadi ketidak adilan, bila para pengrajin dengan keterbatasan ketrampilan dan finansial harus menyerahkan karyanya pada bakul kulakan dengan harga sangat minim. Setelah melalui jalan panjang dari hulu ke hilir, ketika sampai di Pasar, harga jual obyek dagang menggelembung. Hal ini jelas menterpurukkan para Pengrajin secara finansial, juga sekaligus merugikan Konsumen. Betapa tidak, Konsumen harus membayar ‘mahal’ barang dengan harga yang tidak seimbang dengan kualitas kerajinan yang dibelinya.
Demi kemaslahatan masyarakat Pengrajin, dan kepuasan masyarakat Konsumen pecinta seni Kerajinan, Pemerintah Daerah perlu menetapkan Kerajinan Rakyat sebagai komoditi Ekonomi bernilai tinggi. Seiring dengan itu, kiranya CSR Perusahaan Multi Nasional dan BPD-DIY perlu mendukung dan membantu menyelenggarakan pendidikan desain serta pelatihan ketrampilan finishing yang bermutu. Dengan adanya aneka ragam kerajinan dan kesenian Rakyat (folklore), kiranya Pemerintah Daerah dengan bantuan Institut Seni perlu menggali kembali dan mempelajari serta meneliti produk simbolisasi budaya mana yang dapat di putuskan sebagai komoditi kreatif yang punya nilai jual. Dengan demikian, diharapkan dapat terjadi pengembangan dan pengayaan serta peningkatan mutu Industri Kreatif Lokal sebagai alternatif dari Tee-Shirt, atau komoditi Global tiruan lainnya.
Yogyakarta, 21 November 2008
Hj. DR. Dri Arbaningsih Soeleiman SS. MPhil
GOLKAR Media
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar