Latar Belakang
Beberapa tahun setelah kemerdekaan Indonesia tercapai, Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno, melakukan kegiatan pendidikan di Istana Merdeka, yaitu kursus tentang Pancasila selama beberapa minggu. Salah satu topik pengajaran yang disampaikan Bung Karno adalah tentang Kebangsaan. Dalam pelbagai pidato tentang Kebangsaan, Bung Karno selalu mengutip teori Kebangsan Ernest Renan yang bunyinya: Solidaritas agung yang terbentuk oleh pengalaman penderitaan bersama. Kutipan tersebut memberi kesan, bahwa pengalaman dalam kebersamaan yang penuh derita, mendorong rasa bersatu dalam diri setiap manusia. Dalam konteks Indonesia, pluralisme rakyat yang terdiri dari pelbagai etnik tidak menggoyahkan kehendak mereka untuk bersatu menjadi satu Bangsa yang sama-sama pernah mengalami penjajahan kolonialisme Belanda.
Sebagai seorang Negarawan, politisi dan pejuang kemerdekaan yang telah makan asam garam pembuangan ke pelbagai tempat, misalnya Digul, Tanah Merah, Bengkulu, Bung Karno melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa sesungguhnya rakyat yang bermukim di kawasan Nusantara ini dapat disebut sebagai Bangsa Indonesia. Bung Karno memang berhasil meyakinkan rakyat di seluruh negeri ini, bahwa sesungguhnya mereka adalah Bangsa Indonesia. Dalam kaitannya dengan Sumpah Pemuda 1928, Bung Karno tanpa lelah menjadikan "mimpi" tahun 1928 sebuah kenyataan. Bangsa Indonesia lahir atas kehendak para Pemuda sebelum ia dilahirkan oleh sejarah.
Beberapa teori tentang Bangsa
Bagi Anthony Smith, bangsa adalah komunitas kultural dan Politis. Identitas bangsa dalam konteks ini adalah hasil pencarian melalui sejarah atas dirinya pada masa lalu ke depan. Benedict Anderson melihat bangsa sebagai komunitas persaudaraan yang direka bayangkan (imagined community). Ernst Gellner melihat bangsa sebagai tata komunitas alamiah. Ia bedakan bangsa dengan masyarakat industri sebagai dampak kultur seragam, sementara Negara adalah penjaga kultur seragam tersebut. Eric Hobshawn menyebut bangsa sebagai satu tradisi rekaan untuk menyalurkan insting komunal, penghormatan hymne dan bendera kebangsaan, pahlawan, serta simbol-simbol.
Negara Bangsa vs Globalisasi
Menurut Anthony Giddens, negara bangsa merupakan fenomena historis yang baru muncul pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 dengan karakter sebagai suatu "penyatuan suatu perangkat administratif atas daerah tertentu" (Kenichi Ohmae,1995). Dalam bukunya "Hancurnya Negara Bangsa", ia menulis, bahwa sebagian sejarah manusia itu dilalui tanpa ‘negara’. Negara bukan entitas alami. Masyarakat pemburu, petani suku-suku terpencil di Indonesia tidak ada negara atau organisasi politik apapun yang mengurus mereka. Namun demikian, kondisi tanpa negara bukan berarti tanpa sistem atau mekanisme pemerintahan/manajerial tertentu. Kata Aristoteles, manusia adalah "zoon politikon".
Munculnya negara bangsa diawali oleh pelbagai model sistem negara. Imperium muncul pada abad ke-1 sampai ke-5 pada abad ke-15 sampai dengan abad ke-18. Yang kedua negara feodal, kemudian monarki, monarki absolut dan monarki konstitusional. Di akhir abad ke-20, muncul era globalisasi dimana pola kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya ’teraduk menjadi satu’ tanpa terikat lagi oleh batas-batas negara bangsa. Territorium, kontrol atas kekerasan, struktur kekuasaan impersonal dan legitimasi perlahan mulai kehilangan fungsinya. Kenichi Ohmae menyimpulkan empat I ”biang kerok impotensi negara bangsa”, yaitu industri, investasi, individu, dan informasi.
Lebih jauh, Kenichi menyatakan, bahwa globalisasi mengimplikasikan tidak berartinya lagi jarak regional maupun territorial. Kejadian di suatu tempat, bukan mustahil berdampak pada tempat lain dan berimbas pada tempat lainnya pula. Runtuhnya ekonomi di satu negara dirasakan akibatnya negara lain, ke asusilaan sebuah negara cepat merambat dan menular ke negara lain. Gaya hidup dan cara berpakaian global terlihat di mal-mal di seluruh dunia yang se-akan-akan tanpa sekat lagi. Ekstrimnya, ratusan negara di muka bumi menyatu seakan satu negara, bahkan satu keluarga dalam rumah yang sama.
Kebangsaan, Nasionalisme dan Globalisasi
Ketiga paham di atas terbentuk melalui tiga macam proses yang erat kaitannya dengan bagaimana manusia menyikapi kehidupannya, misalnya proses kulturisasi untuk kebangsaan yang lekat dengan wilayah tanah air, sejarah, bahasa; proses politik mempengaruhi nasionalisme yang tercermin dalam semangat patriotisme terhadap bangsa dan negara; proses internasionalisme membentuk paham globalisasi dimana tidak ada sekat antar bangsa, negara serta budaya. Yang disebut terakhir merupakan mainstream atau trend yang tak terelakkan, karena adanya informasi teknologi canggih melalui internet yang sedang marak di kota-kota besar di Indonesia. Dengan biaya yang relatif sangat murah 3 ribu hingga 5 ribu rupiah saja seseorang dapat menjelajahi cyberspace selama beberapa jam untuk mendapatkan informasi tentang berita dunia mutakhir atau pengetahuan lainnya. Belum lagi ada beberapa cara yang relatif tidak mahal bagi individu dengan keluarganya yang menginginkan dapat mengakses internet dari rumah. Adakah diantara mereka ini yang masih menyadari akan jenis kebangsaannya? Kondisi tersebut di atas, sesungguhnya telah menempatkan Bangsa yang tengah "menjadi" ini dalam posisi sulit dan dilematis seperti yang telah disampaikan dalam paragraf di muka, posisi Bangsa Indonesia dalam ketegangan antara lokal-global.
Nasionalisme rakyat Indonesia pra-kemerdekaan jauh berbeda dengan nasionalisme rakyat Indonesia pascakemerdekaan. Selain kondisi politik negara berbeda, kondisi psikis masyarakat generasi pasca-kemerdekaan pun berbeda. Yang disebut belakangan belum pernah merasakan pahit getirnya menjadi bangsa yang terjajah secara lahir maupun batin. Walaupun terdapat kecintaan kepada tanah air Indonesia, namun bobot dan kualitasnya berbeda. Apa kepentingan semangat nasionalisme pada generasi muda dan apa kegunaannya bagi bangsa dan negara?
Berbeda dengan nasionalisme sebagai produk dari proses berpolitik, kebangsaan atau rasa berbangsa adalah produk dari proses kultur atau budaya, dimana seorang yang berketurunan Jawa, dimanapun ia berada akan tetap merasakan bahwa bahagian dari dirinya berdarah Jawa. Pluralisme bangsa bangsa yang menempati kawasan Nusantara adalah produk budaya, dimana setiap wilayah, berbahasa dan memiliki sejarah serta seni lokal. Itulah sebabnya, bangsa-bangsa daerah di kawasan Nusantara ini, tidak dapat dinafikan kedaerahannya (etnik). Bangsa etnis ini tidak identik dengan “suku”, sebagaimana yang diajarkan di sekolah, bahwa Bangsa Indonesia terdiri dari pelbagai suku bangsa. Yang benar adalah Bangsa Indonesia adalah mozaik dari bangsa-bangsa etnis yang tersebar di seluruh perairan dan tanah Nusantara. Yang dikatakan suku Jawa adalah suku Jawa Banyumas, suku Jawa Kedu, suku Jawa Jawa Mataram dan seterusnya. Begitu pula dengan suku suku bangsa Papua, ada suku Maumere, suku Biak, suku Baliman dsbnya. Suku bangsa Sulawesi Selatan, ada suku bangsa Bone, suku bangsa Luwu, suku bangsa Goa dan seterusnya. Bangsa Indonesia adalah mozaik dari bangsa-bangsa Daerah Kawasan Nusantara (etnis Nusantara).
Kesimpulan dari tulisan ini adalah, bahwa kondisi kekinian dengan penggunaan alat informasi canggih telah mengubah budaya bersikap, berpikir dan bertutur. Apakah sebuah peradaban senantiasa menuntut budaya stagnasi konservatif, atau dinamis, tanpa meninggalkan akar, budayanya? Agar supaya proses perjalanan hidup manusia itu baik, dalam arti ada dinamis, progresif atau konservatif dan berlangsung wajar dan tangguh (solid), sesungguhnya, peradaban manusia tidak dapat meninggalkan akar budayanya.
Disarankan, agar generasi senior memikirkan persoalan ini secara serius, dengan mengadakan temu wicara antar generasi agar supaya generasi penerus tidak kehilangan obor. Perlu diingatkan kepada media cetak, media elektronik dan media layar lebar agar menyadari peran serta mereka di dalam menjaga peradaban Bangsa dan mendidik masyarakat melalui pengangkatan kearifan lokal dari segala aspek. Dengan jalan ini diharapkan agar Indonesia yang rakyatnya multikultural dan plural ini dapat menjadi Bangsa yang lentur dan fleksibel dalam menghadapi ketegangan tarik menarik dengan sikap cerdas dan berbudaya.
DR. Dri Arbaningsih SS.Mphil
Jakarta, November 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar