Abstraksi
Sesungguhnya, kekuasaan merupakan daya (impulse) yang berisi dua, yaitu di satu sisi daya untuk menguasai dan di sisi lain daya untuk dikuasai (Bertrand Russel, 1938, 1992:7). Kekuasaan merupakan isu yang menarik untuk dikaji, karena seperti ikan berenang di dalam air, ia tidak menyadari bahwa ia berada dalam air, demikian juga manusia, ia menggunakan kekuasaan untuk mencapai apa yang dikehendaki tanpa memahami ‘binatang’ apa sesungguhnya Kekuasaan itu.
Kekuasaan, baik yang bersifat individual (in the state of human nature) maupun kelembagaan sebagai kekuasaan pada organisasi dan Negara dalam bentuk otoritas legal (wewenang) atau sovereinitas tidak selamanya membawa kesejahteraan, bahkan tidak sedikit yang menimbulkan kesengsaraan, sehingga kekuasaan perlu dibatasi, serta dijauhkan dari kelaliman manusia.
Beberapa argumen mengenai Kekuasaan menjadi rujukan terbentuknya Kekuasaan politik yang diharapkan membantu menganalisa jalannya proses demokratisasi, penyelenggaraan Konstitusi NKRI, pembagian Kekuasaan politik di Indonesia menurut paham Trias Politika, serta proses pemilihan Presiden yang kesemuanya perlu dicermati dan diluruskan.
Kata kunci: Kekuasaan, Negara, Kekuasaan politik, Kekuasaan dimandatkan, Kekuasaan soverein, otoritas legal,Soverein, Kontrak Sosial, Konstitusi
1. Pendahuluan
Ketika para perintis Kemerdekaan Indonesia merumuskan dasar negara, Pancasila, dan konstitusinya, Undang-Undang Dasar 1945, pertimbangan mereka didukung oleh semangat kemanusiaan yang adil dan beradab dan etika politik (Magnis-Suseno:1992:138). Bentuk Negara yang dianggap akan membawa Bangsa Indonesia kepada cita-cita Proklamasi Kemerdekaan haruslah Republik yang berkedaulatan Rakyat, karena hanya Republiklah yang akan memberikan kehidupan demokratis. Demokrasi merupakan operasionalisasi kedaulatan rakyat. (ibid)
Dalam kurun waktu 64 tahun semenjak diundangkan, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) telah mengalami amandemen sebanyak empat kali. Sebuah prestasi luar biasa bila dibandingkan dengan Konstitusi Amerika Serikat yang berusia lebih dari 200 tahun, dan baru mengalami amandemen sebanyak 20 kali. Yang menjadi pertanyaan adalah, 1) mengapa setelah mengalami amandemen yang dilaksanakan oleh para Reformator 1998, UUD 45 mengalami perubahan signifikan? Padahal, amanah yang ditinggalkan para pendiri Republik Indonesia adalah perlunya UUD 45 disempurnakan. Akibatnya, konstitusi Negara Republik Indonesia tidak lagi memiliki jiwa yang mencerminkan jati diri Bangsa Indonesia yang dipahami sepenuhnya oleh para perumus tahun 1945 sebagai masyarakat kolektif atau masyarakat musyawarah mufakat. Kondisi ini berdampak pada struktur Tata Negara Republik Indonesia dan pelbagai putusan Kebijakan Publik pemerintahan Indonesia. 2) Dengan kondisi demikian, dapatkah cita-cita Proklamasi 1945 terwujud?
UUD 45 dianggap memberikan kewenangan berlebihan kepada Presiden Republik Indonesia, karena memposisikannya sebagai kepala Negara dan sekaligus sebagai kepala Pemerintahan. Oleh karena itu, agar sesuai dengan era Reformasi, UUD 45 perlu diubah dengan tujuan agar terjadi keseimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga pemerintahan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Selain itu, beberapa TAP MPR dirasakan meninggalkan stigma yang perlu dihapus. Untuk itu, tidak ada jalan lain selain menghilangkan peran dan fungsi MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sebagai lembaga tertinggi Negara dan menggantikannya dengan peran dan fungsi baru sebagai joint session DPR dan DPD. Artinya, peran dan fungsi MPR yang mewakili kekuasaan Negara berubah menjadi majelis permusyawaratan DPR dan DPD, yang mewakili kepentingan Rakyat. Hal ini memberi kesan bahwa perubahan yang dilakukan atas UUD 45 tidak memperhitungkan peran dan fungsi MPR dalam kaitannya dengan hakikat Negara, sebagai organisasi yang diberi kekuasaan oleh Musyawarah dan Mufakat Rakyat (para pendiri Negara Republik Indonesia).
Sebelum amandemen, UUD 45 meletakkan peran dan fungsi MPR sebagai wakil Negara untuk seterusnya memberikan pelimpahan kewenangan kekuasaan Negara tersebut kepada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (otoritas pemerintahan) yang sekaligus juga Kepala Negara (otoritas kenegaraan). Artinya, Presiden Republik Indonesia adalah mandataris MPR yang mewakili kekuasaan Negara. Dalam perkuliahan tentang Pancasila, Bung Karno menyampaikan, bahwa Negara adalah sebuah organisasi Kekuasaan (Maagstaat). (Sukarno:1958:27) Selanjutnya dikatakan, bahwa para pendiri Republik Indonesia bermusyawarah bermufakat untuk meletakkan organisasi Kekuasaan yang baru itu di atas sebuah ’meja statis’ sebagai sarana pemersatu agar Bangsa Indonesia berjiwa satu, dan sebagai ’Leidstar’ sebagai sarana dinamis, yang memberikan arah dan tujuan guna mencapai cita-cita bersama. (ibid) Dengan Pancasila sebagai dasar Negara diharapkan agar organisasi Negara tidak jatuh di tangan pemimpin yang bukan berjiwa Indonesia. Dengan Pancasila sebagai ’meja statis’ dan ’Leidstar’ dinamis, Negara Republik Indonesia sebagai organisasi Kekuasaan diharapkan tidak dapat dijadikan sekedar alat kekuasaan oleh golongan-golongan tertentu.
2. Kekuasaan Negara
Interaksi sosial manusia diwarnai dan dipengaruhi oleh Kekuasaan yang menurut Bertrand Russel merupakan daya (impulse) bersisi dua, yaitu daya untuk menguasai dan daya untuk dikuasai (Bertrand Russel, 1938, 1992:7). Kedua jenis daya tersebut menurut Russel bermuara pada kehendak manusia. Ada kehendak untuk berkuasa dan ada kehendak untuk dikuasai. Persoalan menguasai-dikuasai tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui semacam ‘konvensi’. Dalam bukunya “Power” (1938, 1995) Russel menyampaikan pandangan tentang beberapa fenomena kekuasaan: 1) yang bersifat tradisi, priestly/kingly power (op.cit.: 35-56), yaitu kekuasaan berbasis kultur; yang terjadi pada hubungan antara Pendeta dengan umatnya atau pada hubungan antara Raja dengan kawulonya; 2) bersifat sepihak atau naked power (op.cit.: 57-71), yang terjadi pada hubungan bersifat alamiah, dimana yang berkuasa memiliki kekuatan/kesaktian; pada hubungan biologis seperti pada ayah /ibu dan anak, dan seperti penguasaan terhadap hewan piaraan. 3) yang bersifat alternatif atau revolutionary power (op.cit.: 72-81) seperti pada berlakunya kekuasaan baru yang dianggap lebih baik, misalnya yang terjadi di Eropa pada awal Era Kristiani, Era Reformasi, Era Revolusi perancis dan Nasionalisme, Era Sosialisme dan Revolusi Rusia ; 4) yang bersifat kondisional atau economic power (op.cit.: 82-92), yaitu masuknya hal-hal baru, seperti gaya hidup baru, mode busana mutakhir dari perancang terkenal. Namun dalam kenyataan, berbagai bentuk ‘konvensi’ tersebut berlangsung tumpang tindih yang pada umumnya berakhir pada naked power.
Merujuk kepada jenis Kekuasaan di atas, ada Kekuasaan individual yang berlangsung pada seorang individu, misalnya pada Raja, pada Pendeta, pada seorang Bapak, pada pemilik hewan piaraan, dan seterusnya, dan Kekuasaan kelembagaan yang berlangsung dalam organisasi, misalnya pada organisasi Negara, pada organisasi tentara/militer, organisasi perusahaan, organisasi partai. Makalah ini membatasi diri pada persoalan Kekuasaan kelembagaan, yaitu Kekuasaan Negara sebagai lawan dari Kekuasaan Soverein.
Kekuasaan Negara merupakan reaksi terhadap Kekuasaan soverein, yang pada abad-abad sebelumnya berdiri dibelakang hegemoni kekudusan (Kontrak Sosial:1989:V). Pada zaman Kekudusan (abad pertengahan) tersebut, satu-satunya bentuk pemerintahan adalah Monarki. Kekuasaan soverein adalah Kekuasaan tunggal/individu yang dimiliki Raja tanpa mandat. Kuasa Kekudusan dirumuskan sebagai berikut:
Semua kekuasaan berasal dari Tuhan. Dialah yang mendelegasikan kekuasaannya kepada Raja. Monarki, dan pada waktu itu monarki absolut, adil dan sah, karena dikehendaki Tuhan. Raja adalah Monarki yang kekuasaannya diturunkan oleh Tuhan. (Kontrak Sosial: 1898:X)
Sebuah Kerajaan didirikan atas Kekuasaan soverein Raja, serta dengan kekuatannya menentukan sendiri wilayah kekuasaannya. Rakyat menyerahkan kebabasannya untuk tunduk pada Kekuasaan soverein Sang Raja. Sebagai gantinya mendapat ’perlindungan’ dari Kerajaan. Ketika zaman berubah ke zaman Pencerahan, kemudian ke zaman Reformasi (Eropah) (abad ke-16), timbul kebangkitan Kekuasaan Rakyat.
...mengingat manusia tidak mungkin menggerakkan kekuatan baru namun hanya dapat menyatukan dan mengarahkan kekuatan-kekuatan yang ada, mereka tidak mempunyai cara lain untuk melestarikan diri kecuali membentuk sejumlah kekuatan yang dapat mengalahkan hambatan itu, dengan jalan mengumpulkan, menggiatkan kekuatan-kekuatan itu melalui satu penggerak dan membuatnya bergerak bersama secara serasi. (Kontrak Sosial: 1989: 14)
Manusia harus memilih antara tetap bebas, tidak saling tergantung namun mati, dan bersatu untuk bertahan hidup dengan membangun masyarakat politis (societe civile) (ibid)
Berdirinya sebuah organisasi Negara mutlak perlu didukung oleh keberadaan wilayah, rakyat, konstitusi dan berdaulat. Rakyat yang mendukung berdirinya sebuah Negara, bukan kawanan manusia yang bercerai-berai, melainkan sebuah asosiasi masyarakat yang Berkehendak Umum dan merupakan bagian dari sebuah Korps Politik (Negara). Kehendak umum untuk bersedia hidup di bawah Kekuasaan Negara tercantum dalam sebuah pakta sosial yang dicapai melalui melalui musyawarah dan mufakat Rakyat.
Ada beberapa konsep tentang Negara sebagai organisasi, misalnya sebagai 1) organisasi Kebaikan Bersama, tokohnya Socrates (469-399 SM), Plato (429-347 SM), Arirtoteles (384-322 SM); 2) Organisasi Teokrasi, tokohnya Santo Agustinus (354-430), Ibn Abi Rabi’, Al Ghazali (1058-1111) ; 3) Organisasi Kekuasaan, tokohnya Nicollo Machiaveli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1645); 4) Organisasi Hukum, tokohnya Thomas Aquinas (1226-11274), John Lock (1632-1704), Montesquieu (1688-1755); 5) Organisasi Kedaulatan Rakyat, tokohnya Al-Mawardi (975-1059 M), Jean Jacquess Rousseau (1712-1778). (Deddy Ismatullah et al., 2006)
Negara sebagai organisasi kekuasaan dan sebagai korps politik/asosiasi politik tidak serta merta berjalan mulus, misalnya Kekuasaan Negara/otoritas pemerintahan ketika dipertentangkan dengan Pribadi/individu yang memiliki otonomi dan kebebasan. Apakah otoritas pemerintahan selalu berpihak kepada dengan Kehendak Umum?
Kebebasan (freedom) atau Kemerdekaan (liberty).
Kebebasan adalah keleluasan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan keinginan sendiri; atau dapat pula diartikan sebagai hak dan kemampuan manusia untuk menentukan sendiri apa yang menjadi pilihannya. (Supriatnoko:2008:107) Oleh karena itu, pentingnya Negara sebagai organisasi Hukum adalah untuk membatasi kewenangan Negara serta mengatur hak dan kewajiban Pribadi yang mengikatkan diri kepada Negara. Negara sebagai organisasi kedaulatan rakyat membutuhkan rumusan konstitusi dan susunan tata negara yang kondusif, agar penyelenggaraan Negara dapat berjalan maksimal. Dalam upaya mencermati Kekuasaan Negara di Republik Indonesia, makalah ini menyimak gagasan Thomas Hobbes (organisasi kekuasaan), John Lock (organisasi hukum) serta JJ. Rousseau (organisasi kedaulatan rakyat), utamanya gagasan Rousseau dalam Du Contrat Social (Kontrak Sosial:1762) dan sistem pemerintahan Negara lain yang mengaplikasikan sistem Presidensiil, misalnya Amerikat Serikat.
3. Masyarakat alami/politik, Sovereinitas, Kontrak Sosial
a. Thomas Hobbes (1588-1679)
Kekuasaan terdapat pada masyarakat politik, sementara kekuatan mendominasi masyarakat alamiah menurut Thomas Hobbes dalam Leviathan (abad ke-16). Selanjutnya dikatakan, bahwa manusia dalam status alamiahnya (man in the state of nature) cenderung berinsting hewani, sehingga untuk mencapai maksud tujuannya, manusia merupakan serigala bagi manusia lainnya, homo homini lupus, dan semua manusia cenderung memerangi semua, bellum omnium contra omnes. Untuk mengatasi kondisi alamiah tersebut, Hobbes berpendapat, perlunya masyarakat pra-politik diubah menjadi masyarakat politik dengan pakta sosial antar sesama anggota masyarakat (pactum subjectionis), bahwa dengan kesepakatan membentuk Negara, Rakyat menyerahkan semua hak alamiah mereka (sebelum adanya Negara), untuk diatur sepenuhnya oleh kekuasaan Negara. (Deddy Ismatullah et al.:2006: 64) Kontrak Sosial versi Hobbes memposisikan Penguasa sebagai ‘pengawas’ atau ‘jaminan’ yang berada di luar pakta tersebut, yang diharapkan menjamin Kontrak dapat terlaksana dan dihormati. (Kontrak Sosial:1989:XII) Meskipun masyarakat politik versi Hobbes berada pada kesederajatan dan kebebasan sama antara satu dengan lainnya, namun pakta sosial mereka tetap memposisikan Penguasa/Negara sebagai Monarki Absolut.
b. John Lock (1632-1704)
Sementara itu John Lock dalam Second Treaty of Civil Government (abad ke-16) mengatakan, bahwa masyarakat alamiah membentuk perkumpulan untuk membentuk sebuah permufakatan bersama dalam rangka saling memelihara keselamatan hidup dan kepemilikan harta.
Keadaan alamiah manusia merujuk pada keadaan manusia hidup dalam kedamaian, kebajikan, saling melindungi, penuh kebebasan, tak ada rasa takut, dan penuh kesetaraan. Manusia dalam keadaan alamiah pada dasarnya baik, selalu terobsesi untuk berdamai dan menciptakan perdamaian, saling menolong dan memiliki kemauan dan mengenal hubungan-hubungan sosial. (Magnis-Suseno:1992:220) Permufakatan itu sering disebut sebagai “Perjanjian Masyarakat” (Contract Social) yang memufakati (pactum unionis) dibentuknya “organisasi kekuasaan bersama”, yakni sebuah Negara. Berbeda dengan Hobbes, permufakatan pactum unionis Lock dilanjutkan dengan pactum subjectionis, yaitu pernyataan bersama untuk menyerahkan kekuasaan atas dirinya kepada Penguasa, kecuali hak-hak yang diberikan oleh alam (life, liberty, property) dan berjanji akan taat kepadanya (Penguasa).
Lock menyebut akal sebagai “Suara Tuhan” (reason is the voice of God). (Deddy Ismatullah et al.:2006:34) Lock sangat menekankan pentingnya kesamaan di antara sesama, sebab kesamaan di antara manusia merupakan hukum kodrat yang membedakan secara signifikan keadaan alamiah dan keadaan perang. (ibid) Dengan dipertahankannya unsur alamiah manusia: kebebasan dan hak azasi, Perjanjian Masyarakat versi John Lock tidak melahirkan kekuasaan absolut, melainkan kekuasaan terbatas (pembatasan kekuasaan Raja dimuat dalam konstitusi). (ibid) Pembatasan kekuasaan Raja terletak pada pactum subjectionis antara Rakyat dan Penguasa.
Sebuah perjanjian telah mengikat mereka yang membuat perjanjian dalam ikatan hukum. Kekuasaan Raja yang dibatasi oleh perjanjian masyarakat berarti sama denganb kekuasaan Raja dibatasi oleh hukum. (op.cit.:36)
Gagasan dan pemikiran Lock telah menempatkan dirinya sebagai pelopor ‘negara konstitusional’ dalam sejarah pemikiran politik Barat. (ibid). John Lock juga orang pertama yang mengemukakan pembatasan kekuasaan Negara untuk mencegah sentralisasi kekuasaan di tangan satu orang. Kekuasaan pemerintahan dibagi ke dalam tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, executif, federatif. (ibid) Dengan demikian John Lock merupakan orang pertama yang mengemukakan pemikian tentang pentingnya pemisahan kekuasaan menjadi tiga. Buah pikiran tersebut mengilhami Baron Montesquieu (1688-1755) yang pernah singgah dan tinggal di Inggris. (ibid)
Perjanjian Masyarakat versi Lock bagaimanapun baik itikadnya tetap saja merupakan ‘penyerahan diri’ Rakyat kepada Penguasa, meskipun dengan pembatasan kekuasaan Radja sekalipun. Baik kontrak dengan Penguasa versi Hobbes maupun Lock, karena sifatnya ‘penyerahan diri’ kepada Penguasa, baik sebagian maupun keseluruhan, menurut pandangan Rousseau secara hukum tidak berlaku. (Kontrak Sosial;1989:XIII)
c. Jean-Jacques Rousseau (1712-1778)
Kecewa dengan konsep Kontrak versi Hobbes serta versi Lock, Rousseau berpendapat dalam Du Contrat Social (1762), bahwa Kontrak dengan kondisi demikian justru menyempitkan posisi masyarakat politik. Ia kemudian berpendapat, bahwa Kontrak Sosial adalah musyawarah dan mufakat antara individu dan kolektivitas, dimana individu tersebut menjadi anggota dalam kolektivitas Pakta Sosial. Individu selama ada pakta, wajib mengorbankan kehendak sendiri pada Kehendak Umum (Kontrak Sosial:1989:XIV)
...dalam keadaan alami, individu bebas memiliki segala hak. Pada saat ia masuk ke dalam masyarakat politik, harus menyerahkan seluruh haknya: ia menerima untuk menyerahkan diri tanpa syarat pada wibawa politik. (Kontrak Sosial:1989:15)
Pakta itu melahirkan Rakyat, sesuatu yang lebih daripada penjumlahan bagian-bagiannya, yaitu individu. (Kontrak Sosial:1989:16)
Pakta Sosial dengan demikian merupakan Kekuasaan Rakyat atau Korps soverein yang tidak mungkin akan melakukan kesewenangan, seperti layaknya kesewenangan Kekuasaan Soverein seorang Raja. Adapun alasan yang disampaikannya adalah, bahwa Soverein/Kekuasaan Rakyat tidak akan pernah arbitrer. Keputusan yang diambil oleh Souverein adalah keputusan seluruh Rakyat, atau warga seluruhnya. Padahal Rakyat tidak pernah merusak dirinya sendiri. Kekuasaan itu, meskipun absolut, tidak mungkin menyimpang. (Kontrak Sosial:1989:18)
Dengan terdapatnya hubungan segitiga antara Souverain-Negara-individu, dimana sebagai anggota Souverain, individu/pribadi terikat kepada individu lainnya, sementara sebagai warga Kekuasaan Negara, individu terikat kepada Souverain, oleh karenanya individu terikat kepada kontrak yang dibuatnya sendiri. Ia terikat kepada formulasi paradoksal:
Kebebasan bukan lagi kemerdekaan dalam keadaan alami namun kebebasan konvensional yang diperoleh individu melalui kontrak. Patuh kepada Souverain adalah patuh kepada diri sendiri, jadi individu berada dalam keadaan bebas (otonomi). Dipaksa untuk patuh adalah sama dengan dipaksa untuk bebas. (Kontrak Sosial: 1989: 19)
Kontrak Sosial menghasilkan sebuah badan kesepakatan Musyawarah Mufakat. Menurut Rousseau, badan Musyawarah Mufakat tersebut merupakan sebuah korps moral sekaligus korps politik, yang merupakan suatu kesatuan, keakuan bersama dalam hidupnya dan kehendaknya. Negara yang diciptakan Kontrak Sosial merupakan korps politik pasif (Kontrak Sosial: 1989:16), sementara Kedaulatan Rakyat /Soverein merupakan korps politik aktif. Korps moral yang merupakan kesatuan, keakuan bersama dalam hidupnya dan kehendaknya itulah yang dimaksudkan Rousseau dengan Republik. (ibid)
Pakta Sosial Rousseau berbunyi:
Masing-masing individu menyerahkan diri dan seluruh kekuasaan untuk kepentingan bersama, di bawah pimpinan tertinggi, yaitu kehendak umum, dan di dalam korps kita menerima setiap anggota sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan. (ibid)
Di dalam akta asosiasi, setiap individu terikat pada individu lainnya, maka tidak bisa tidak, setiap individu akan bertindak sesuai dengan kehendak bersama (kehendak umum). Siapa yang menjamin anggota kelompok tersebut setia pada Korpsnya? Rousseau percaya, bahwa anggota Korps tidak akan mengkhianati kelompoknya, karena berarti ia mengkhianati dirinya sendiri.
Sebagai entitas nalar [Negara] bukan manusia, ia akan menikmati haknya sebagai ‘warga’ dan tidak menghiraukan kewajibannya sebagai ‘subyek’ [hukum]. Seandainya ketakadilan ini berkembang, korps politik akan hancur. Jadi, agar pakta sosial tidak menjadi kumpulan kaidah yang sia-sia, harus secara implisit mencakup keterikatan itu, satu-satunya yang dapat memberikan kekuatan kepada yang lain, agar siapapun yang menolak untuk patuh pada kehendak umum akan berhadapan dengan seluruh korps, artinya tidak lain daripada memaksanya untuk bebas. (Kontrak Sosial :1989 : 19)
Dengan adanya Kontrak Sosial, individu tidak teralienasi dari dirinya ketika ia terikat pada Kehendak Umum yang di dalamnya terdapat kehendaknya sendiri. Ia juga tidak berada dalam situasi dikotomis dengan Kekuasaan Negara, karena ia adalah bagian dari Sovereinitas yang memegang mandat Kekuasaan Negara. Dengan demikian, Kontrak Sosial memposisikan individu dalam keterikatan dan sekaligus kebebasan. Menafikan kepatuhan kepada Kehendak Umum justru menghilangkan kebebasan, karena ia menjadi terikat kepada pemenuhan kewajiban yang tidak/belum dilaksanakan.
4. Kekuasaan Soverein versi Jawa
Berbeda dengan Kekuasaan versi Barat, yang senantiasa di letakkan dalam konteks dikotomis, yakni memposisikan orang lain sebagai “the other”, Kekuasaan versi Nusantara, misalnya, Kekuasaan Jawa versi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat diletakkan pada konteks kebersamaan etis dan bermuatan nilai adat dan budaya. Kedua unsur nilai peradaban tersebut sangat mempengaruhi bentuk dan penyelenggaraan Kekuasaan soverein Raja versi Kekuasaan Jawa. Kekuasaan Jawa versi Ngayogyakarta Hadiningrat memuat nilai-nilai sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh, yang memuat nilai-nilai sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh, yang diambil dari penghayatan seorang penari Joged Mataram. Karya seni garapan Sri Sultan Hamengku Buwono I tersebut memuat pesan-pesan spiritual. Menurut adat Kraton Yogya, seorang Raja yang memiliki Kekuasaan soverein harus memahami empat unsur yang memiliki makna antagonistik. 1) Sawiji. sikap konsentrasi menyatu tanpa menghilangkan kesadaran diri. 2) Greget. Bersemangat, namun dikemas dalam kehalusan. 3) Sengguh. Percaya diri tanpa bersikap sombong. 4) Ora mingkuh. Sikap lepas, tenang namun dalam komitmen dan sikap tertib. Dengan dikemas dalam empat sikap versi Joged Mataram tersebut, Kekuasaan soverein versi Jawa tampil dalam bentuk ksatria arif (satriyo-pinandhito).
Pendiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwwono I, membatasi kekuasaan Raja dalam delapan kebajikan, yaitu “Hastha-Wilapa-Sari”, yang intinya memuat 1) keterluluhan (ajur-ajer) Raja kepada lingkungan, 2) tanggap kepada fenomena yang terjadi; 3) merangkul kerabat pendukung tahta (kadang sentono); 4) mengayomi kawulo alit, papa dan renta di pedusunan; 5) tanggap ing sasmita, ewuh-pakewuh kepada para sarjana dan ulama; 6) memelihara adat, budaya, agama, persaudaraan umat; 7) memanfaatkan peradaban Barat bagi bangsa dan negara; 8) adil, arif bijaksana, tidak mabuk pujian.
Tokoh legendaris Sultan Agung Hanyokrokusumo mengembangkan konsep kepemimpinan dalam : “Sang Aji Bahara Buwana” lewat “ Serat Sastra Gendhing”, yang memuat tujuh karateristik seorang Raja. Ajaran atau piwulang tersebut di atas menjadi wasiat yang wajib dilaksanakan oleh kerabat Ngarso Dhalem Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama kerabat Paduka Sri Paku Alam VIII. Menjelang Proklamasi 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama Sri Paduka Paku Alam VIII, mengubah Konstitusi Kasultanan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kekuasaan soverein menjadi wasiat Rakyat kepada Raja (1945). Isi Maklumat tersebut kemudian dibukukan dengan judul Tahta untuk Rakyat. Maklumat tersebut membuat Yogya berbeda dengan Aceh dan Papua. Kehendak untuk bergabung dengan Republik Indonesia adalah kehendak Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri. Kekuasaan soverein Raja telah berubah menjadi Kekuasaan yang dititipkan atau diwakilkan kepada Raja. Mengapa tidak dimandatkan? Karena Raja tidak dipilih oleh rakyat dan Raja bukan mandataris rakyat. Berbeda dengan keistimewaan Aceh dan Papua. Kedua propinsi tersebut diberikan keistimewaan oleh Pemerintah Republik Indonesia oleh karena jasanya (Aceh) dan karena alasan politis (Papua). Mengatakan DIY sebagai Negara di dalam Negara adalah keliru. Demikian juga bila dikatakan di dalam Negara demokratis Republik Indonesia terdapat Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningart. Yang benar adalah, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Propinsi yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia. Kekuasaan soverein Kasultanan merupakan wasiat Rakyat Yogya yang diemban semenjak Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama dengan Sri Paduka Paku Alam VIII.
Dalam struktur Pemerintahan NKRI, maka Kepala Propinsi DIY adalah Sri Sultan selaku Gubenur, dan Sri Paduka Paku Alam sebagai Wakil Gubenur. Dalam urusan internal, maka Sri Sultan adalah Junjungan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Sri Paduka Paku Alam adalah Junjungan Kadipaten Paku Alaman. Mengintervensi urusan internal DIY adalah identik dengan tidak menghargai serta menghormati sejarah bangsa-bangsa Nusantara sebagai embrio dan mozaik terbentuknya Bangsa Indonesia.
5. Kekuasaan Politik di Republik Indonesia
Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan oleh Sidang PPKI dan mulai pertama kalinya diumumkan pada tanggal 18 Agustus 1945, menyatakan bahwa lembaga tertinggi Negara adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai yang mewakili Negara. MPR berkewenangan memilih serta mengangkat Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan, memberikan mandat Kekuasaan Negara (otoritas kenegaraan dan otoritas pemerintahan) serta mensahkannya sebagai mandataris MPR. Negara Republik Indonesia, merupakan organisasi Negara yang dibentuk oleh Musyawarah dan Mufakat (Kontrak Sosial) para pendiri Republik (founding fathers), yang dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur no 56, Jakarta, yang kemudian disebut sebagai Proklamasi Kemerdekaan.
Selama kurun waktu 64 tahun pasca Proklamasi, penyelenggaraan Negara oleh lembaga Pemerintahan Republik Indonesia dilaksanakan melalui berbagai versi dan interpretasi. Meskipun jauh hari sebelumnya para Pendiri Republik telah mengamanatkan, perlunya UUD 1945 yang singkat tersebut disempurnakan, namun yang terjadi adalah perubahan bukan penyempurnaan (amandemen). Hal-hal yang berkenaan dengan penyelenggaraan Negara tidak lepas dari unsur pendukungnya: Rakyat, Wilayah, Konstitusi dan Berdaulat (pengakuan), yang pengaturan beserta mekanisme kerjanya masih memerlukan rumusan detil. Belajar dari pengalaman Negara lain, Kekuasaan Negara dibagi tiga, yakni Kekuasaan legislatif, Kekuasaan eksekutif dan Kekuasaan yudikatif. Kiranya sah-sah saja bila Indonesia mengadopsi sistem pembagian Kekuasaan tersebut, asal saja melalui cara yang benar, dalam arti disesuaikan dengan kondisi lokal. Prof Soepomo, salah satu founding fathers Bangsa Indonesia, mengatakan, bahwa bukanlah hal yang keliru, bila Indonesia merumuskan Konstitusi “sistem sendiri”.
Dalam Penjelasan Resmi UUD 1945 yang tercantum pada berita Republik Indonesia, 15 pebruari 1946, tertulis:
UUD ini disusun dengan semangat kekeluargaan. Tetapi kalau para penyelenggara Negara dan pemimpin pemerintahan Negara melaksanakannya dengan semangat “perseorangan” (individualism), maka tujuan UUD ini tidak akan tercapai.
Kenyataan mengatakan, bahwa Bangsa Indonesia yang multi etnik dengan budaya, kepercayaan dan agama masing-masing, yang tersebar dari Sabang sampai ke Merauke adalah mozaik Nusantara. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain bagi penyelenggaraan Kekuasaan Negara untuk melaksanakan kompromi Nasional dalam bentuk musyawarah dan mufakat untuk kepentingan pelbagai hal, misalnya diubahnya redaksi dalam Piagam Jakarta untuk Sila ke-satu Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menghilangkan “menjalankan syari’at Islam’; tetap mempertahankan hak menyatakan pendapat pasal 28 UUD 45 tentang kebebasan mimbar.
Kenyataan bahwa Hak Azasi Manusia atau HAM menjadi salah satu isu utama dalam amandemen UUD 1945, sangatlah bertentangan dengan Penjelasan Resmi tersebut di atas yang bersifat kolektif dan Kekeluargaan. Demi cita-cita Proklamasi 1945, hal tersebut tentunya tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Dengan empat kali amandemen yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, ada yang mengatakan, bahwa UUD 1945 yang sekarang sudah lebih baik, dapat dilihat dari hubungan kerja antara lembaga negara yang jauh lebih mencerminkan checks and balances, sehingga Negara lebih demokratis. (Moh. Mahfud:2008). Presiden (Eksekutif) dan DPR (Legislatif) saat ini sudah diposisikan secara sejajar, tak ada dominasi yang satu terhadap yang lain. (ibid) Keterlibatan Majelis Konstitusi (Yudikatif) membuat DPR harus bekerja dengan sungguh-sungguh. (ibid) Namun ada juga yang mengatakan, bahwa hasil amandemen telah memperburuk sistem Pemerintahan, karena membalik hubungan kelembagaan Negara dari executive heavy (dominasi Presiden) ke legislature heavy (dominasi DPR).
Amandemen yang dilakukan atas UUD 45 jelas membelokkan arah Konstitusi dari berjiwa kekeluargaan yang mendasari setiap pasal UUD 1945, menjadi bernuansa individual. Hal ini menjadikan UUD 45 sebagai konstitusi tanpa konteks. Selain itu amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945 memberi peluang bagi manusia sebanyak-banyaknya untuk menjadi ’serigala bagi manusia lainnya’. Misalnya, dengan jumlah kontestan Pemilu 2009 sebanyak 38 Partai, dimana setiap Ketua Partai berlomba jadi Kepala Negara; setiap anggota Partai berupaya menjadi calon Legislatif Pusat atau Daerah, sementara undang-undang pemilihan Presiden belum jelas; undang-undang Pemilihan Umum perlu disempurnakan; pemahaman terhadap Pancasila dan UUD 45 diragukan. Pondamen (’meja statis’) dan Leidstar dinamis yang diletakkan oleh para Founding Fathers agar Negara menjadi wadah kebersamaan etis menjadi jauh panggang dari api.
Sila ke-4 dalam Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan menunjukkan bahwa kedaulatan Negara bersumber pada musyawarah dan mufakat Rakyat, yang adalah budaya asli Nusantara. Para Pendiri Republik Indonesia memahami, bahwa sistem pengambilan keputusan masyarakat Nusantara adalah melalui musyawarah dan mufakat. Hal ini sejalan dengan Pakta Sosial versi Jean-Jacquess Rousseau (1712-1778), bahwa kedaulatan Negara berada di tangan musyawarah mufakat Rakyat. Apakah beda kedaulatan Rakyat dengan Demokrasi? Yang dimaksudkan dengan Demokrasi, adalah Kekuasaan pemerintahan ditangan Rakyat. Sementara Kedaulatan Rakyat atau Republik adalah Kekuasaan Negara ditetapkan oleh musyawarah dan mufakat Rakyat.
6. Pancasila dan Kekuasaan Negara
Dengan merumuskan Pancasila serta meletakkannya sebagai dasar Negara, sesungguhnya para pendiri Republik Indonesia telah menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu menyiapkan Bangsa Indonesia yang baru dalam proses “menjadi”, agar menjadi satu bangsa yang berjiwa Pancasila, dan sebuah Negara sebagai wadah kebersamaan etis yang diselenggarakan berdasarkan nilai-nilai Pancasila: Ketuhanan YME, Persatuan Indonesia, Perikemanusiaan yang beradab, Kertakyatan yang dipimpin oleh hikmah permusyawaratan Perwakilan, Keadilan Sosial demi tercapainya mayarakat sejahtera, aman, damai. Sebagai sarana politik, Pancasila menunjukkan bahwa dalam melawan penindasan menjadi dasar Kebangsaan dan Persatuan Indonesia, dan dalam kebersamaannya Bangsa Indonesia memperjuangkan kehidupan Negara berkedaulatan Rakyat (Kerakyatan), artinya kekuasaan mutlak dipegang Rakyat; bahwa Kekuasaan Negara ditetapkan oleh musyawarah dan mufakat; bahwa Kekuasaan Negara diwakili oleh perwakilan Rakyat; bahwa bangsa-bangsa Nusantara secara geopolitik sesungguhnya merupakan satu rumpun Bangsa. Kebersamaan yang berkeadilan sosial. Dari sisi kultur lokal, Pancasila mengangkat sikap religius bangsa-bangsa Nusantara; sikap ajur-ajer/tepa sliro/tanggap rasa (keterluluhan) yang menunjukkan perikemanusiaan yang beradab; adat musyawarah dan mufakat yang merupakan tradisi masyarakat Nusantara dalam berkomunikasi secara kolektif dalam urusan pengambilan keputusan mengenai kebijakan penetapan penjagaan tata kehidupan warga; melanggengkan tradisi dan budaya lokal; urusan perkawinan, dan sebagainya. Oleh karena itu, Konstitusi Negara yang berdasarkan Pancasila perlu kembali berakar pada peradaban Nusantara yang berjiwa Kekeluargaan/kolektif. Dalam konteks jargon politik Rousseau, sebagai entitas nalar, Negara adalah ‘warga’ yang tidak imun dari kewajibannya sebagai ‘subyek’ Hukum. Oleh karena itu, Negara membutuhkan payung idiil dan landasan moral, yaitu Pancasila sebagai Weltanschauung Bangsa (Sukarno: 1958) dan Negara (korps politik/moral), agar sebagai ‘warga Kekuasaan’ dan ‘subyek Hukum’, Negara tidak menyimpang dari kewajiban memberi perlindungan dan menjamin kesejahteraan Rakyat.
7. Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia
Menurut amanah Konstitusi Republik Indonesia 1945 sebelum amandemen, Kepala Negara/Kepala Pemerintahan atau Presiden sebagai pimpinan Eksekutif berkewajiban melaksanakan Undang-Undang Negara yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memegang otoritas kekuasaan Legislatif. Presiden bertanggungjawab kepada MPR sebagai lembaga tertinggi Negara, yang berkewenangan menunjuk pencalonan Presiden dan wakil Presiden serta menetapkannya sebagai Mandataris MPR. Namun, kenyataan yang akan berlangsung dalam pemilihan Capres di tahun 2009 adalah, bahwa Capres (pimpinan Eksekutif) yang dipilih rakyat secara langsung, bila mencapai perolehan suara 20-30% perlu mendapat legitimasi dari kurang lebih 25% suara anggota Legislatif (DPR), yang juga dipilih Rakyat melalui Pemilihan Umum Legislatif. Apakah yang demikian itu dapat dibenarkan? Kepala Eksekutif disahkan oleh lembaga legislatif?
Dalam daftar tugas DPR sebanyak 13 butir, tidak satu butir pun mencantumkan adanya kewajiban tersebut. (Supriatnoko:2008:82) Dalam Konstitusi yang sudah diamandemen, diasumsikan hal tersebut menjadi sah, karena MPR sudah berubah posisi menjadi Joint Assembly, bahkan joint session dari DPR bersama DPD. Ini berarti, DPR dan DPD melaksanakan kewenangan lembaga tertinggi Negara, dan MPR melaksanakan kewenangan ‘Legislatif.’ Dalam Sovereinitas versi Rousseau, dikatakan (Kontrak Sosial:1989:42-45):
Legislator adalah seorang manusia luar biasa dari segi manapun di dalam Negara. Ia harus luar biasa karena bakatnya dan juga karena tugasnya...Tugas yang membentuk Republik, namun sama sekali tidak termasuk Republik. Itu tugas khusus dan tertinggi, yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan [keseharian] manusia; karena, jika siapa memerintah manusia [magister], tidak berhak memerintah undang-undang, maka siapa memerintah undang-undang [legislator], tidak berhak memerintah manusia. (Kontrak Sosial:1989:42-3)
...Sebelum terbentukya undang-undang, manusia harus sudah dalam keadaan yang nantinya ditentukan ditentukan oleh undang-undang. (Kontrak Sosial:1989:44)
Pada paragraf pertama di atas, jelas digambarkan, wewenang Legislator adalah merumuskan Undang-Undang. Oleh karenanya, bagi Rousseau, peran dan fungsi Legislator menduduki posisi sangat terhormat dalam hirarki penyelenggaraan Negara. Banyak kemungkinan hal ini kurang dipahami oleh para politisi Indonesia. Banyaknya petualang politik dalam Pemerintahan dapat mengakibatkan kehancuran korps politik/Negara. Konstitusi Republik Indonesia melalui Undang-Undangnya yang mutakhir menetapkan Kepala Negara Republik Indonesia dipilih langsung oleh Rakyat. Dalam sistem Presidensiil, Presiden terpilih tidak seharusnya berasal dari Ketua Partai yang dicalonkan oleh Partainya sendiri. Bila demikian yang dilakukan, maka Rakyat telah melakukan kekeliruan besar karena mengacaukannya dengan sistem Parlementer, yang pimpinan Pemerintahannya dipegang oleh Perdana Menteri yang berasal dari Ketua Partai pemenang Pemilihan Umum.
Seperti yang telah disampaikan di muka, bahwa berkat amandemen yang telah dilakukan, terdapat reaksi antara lain 1) bahwa kedudukan Presiden sejajar dengan DPR; 2) bahwa Indonesia adalah Negara Muslim terbesar yang berhasil membangun demokrasi dengan pesat pasca Reformasi; 3) bahwa politik Kekuasaan menjadi legislature heavy, 4) bahwa nilai-nilai dasar yang ditanamkan para Pendiri Negara tetap dipertahankan dengan kukuh dan penuh kesadaran. (Mahfud:2008) Menyimak kata-kata di atas dan memahaminya, merupakan dua hal berbeda. Untuk paling sedikit mendapat kan gambaran sederhana, kiranya perlu menyimak pelaksanaan pemerintahan Negara Republik Indonesia.
a) Situasi umum. Para Pendiri Republik Indonesia jauh-jauh hari sudah mengingatkan, bahwa Konstitusi Republik Indonesia yang termaktub di dalam UUD 1945, dirumuskan secara singkat, karena diakui perlu penyempurnaan dan penyesuaian. Namun seperti yang telah disampaikan di muka, amandemen yang mentransformasikan UUD 1945 dari bercorak kekeluargaan berubah ke corak hak azasi individu, ibarat mencabut tanaman tanpa akarnya. Tidak ada yang lebih mengenal Jiwa Bangsa Indonesia selain para Pendiri Republik, yang memikirkan masa depan Bangsanya dengan segala ketulusan dan keikhlasan. Tidak dapat dipungkiri, amandemen telah mengingkari maksud dan tujuan perumusan UUD 1945 semula. Ini bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh prof Mahfud dalam kalimat sebagai berikut: mempertahankan dengan kukuh dan penuh kesadaran nilai-nilai dasar yang ditanamkan oleh para pendiri Negara.
b) Lembaga Eksekutif, ialah lembaga tinggi Negara yang menerima Kekuasaan otoritas dengan kewenangan menjalankan administrasi penyelenggaraan Negara berdasarkan undang-undang yang dibuat dan disahkan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden Republik Indonesia adalah pimpinan Eksekutif (Kepala Pemerintahan) yang dibantu oleh Kabinet (unsur-unsur legislatif, eksekutif, yudikatif, para Menteri Departemen dan Menteri Negara non-Departemen). Setelah diamandemen, dikatakan: Presiden dan DPR saat ini sudah diposisikan sejajar. (Moh. Mahfud : 2008) Perlu disampaikan, bahwa posisi dan kewenangan merupakan dua istilah yang berbeda.
Menurut UUD 1945 sebelum amandemen, Presiden adalah mandataris MPR. Tetapi, setelah diamandemen, Konstitusi Republik Indonesia tidak lagi memiliki perwakilan yang mewakili Kekuasaan Negara (MPR), melainkan Parlemen, yang mewakili aspirasi Rakyat. Konsekuensinya, Presiden Republik Indonesia terpilih 2009 menyelenggarakan Pemerintahan tanpa mandat kekuasaan Negara, kecuali Kepercayaan dari Rakyat. Dengan dihapuskannya MPR sebagai lembaga tertinggi Negara, terhapus pula perwakilan musyawarah dan mufakat. Apakah dengan demikian Rakyat Indonesia masih ada keterikatan Hukum dengan Kekuasaan Negara? Apakah dengan kondisi baru ini masyarakat Indonesia ‘kembali menjadi’ masyarakat alamiah atau kawanan Pribadi-Pribadi (kecuali masyarakat DIY karena masih memiliki Penguasa/Pemimpin/Raja). Apabila Presiden dipilih secara langsung oleh kawanan Pribadi-Pribadi (masyarakat alamiah) bukankah yang demikian sama dengan memilih Penguasa tanpa ikatan Hukum? Sebagai perbandingan, di bawah ini akan disampaikan gambaran singkat mengenai sistem Pemerintahan Presidensiil Amerika Serikat.
Di Negara Amerika Serikat, para kandidat Presiden dan wakilnya, berangkat dari posisi Senator/Gubernur Negara Bagian/Independen yang tergabung dalam kelompok politik (pakta sosial) Republik atau Demokrat. Mereka berkampanye di Negara Bagian yang mendukungnya dan yang mungkin akan mendukungnya. Kandidat dengan angka suara tertinggi akan mewakili kelompoknya (Demokrat atau Republik) untuk ”bertarung” dengan lawan politiknya dari kelompok lain. Kandidat Presiden dari Demokrat dan Republik, bertarung dalam sebuah perdebatan, dimana Rakyat pemilih akan memberikan suaranya kepada Kandidat yang dianggap paling pantas menduduki kursi Kepresidenan Amerika Serikat di mata mereka. Sistem penetapan kandidatur serta sistem pemilihan Calon Presiden belum dimiliki oleh Konstitusi Republik Indonesia sampai sekarang, sehingga satu-satunya cara yang dianut dan diterima Rakyat Indonesia adalah menunjuk Ketua Partai yang dicalonkan oleh Partainya sendiri sebagai Calon Presiden.
Di Inggris, pimpinan Pemerintahan adalah Perdana Menteri yang dipilih dari politisi perwakilan rakyat pemenang suara terbanyak, dalam hal ini pimpinan Partai politik. Sementara Presiden Amerika Serikat dipilih dari negarawan (senator atau gubernur negara bagian) yang mengajukan dirinya sebagai Kandidat Presiden yang bertarung melawan kandidat dari partai/kelompok lain. Pernah terjadi di Amerika Serikat, dua orang Capres independen maju, namun tidak berhasil. Untuk Indonesia, seyogyanya Kepala Negara yang sekaligus Presiden Indonesia (Kepala Pemerintahan), adalah Negarawan anggota ‘Presidium’ yang ditunjuk oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai lembaga tertinggi Negara yang memberi mandat atas nama Kekuasaan Negara kepada Presiden terpilih.
De facto, pemilihan dan penetapan Presiden di Republik Indonesia rancu, karena menggunakan sistem Parlementer. Seperti yang sudah disampaikan di atas, setiap Ketua Partai dinominasikan oleh Partai masing-masing sebagai calon Presiden. Dengan ditiadakannya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Rakyat berkewajiban memilih langsung. Namun demikian, tanpa sistem yang memadai, seperti Amerika Serikat, yang memiliki Negarawan handal (Senator/mantan Gubernur) sebagai kandidat Presiden, maka apakah pencalonan Presiden di Indonesia dapat dikatakan sekedar petualangan para politisi bermodal finansial?
Di negara Amerika Serikat, setiap Senator memang berangkat dari kelompok aliran yang dipilihnya. Bagaimana Amerika Serikat menjalankan proses demokratisasinya perlu dipelajari, karena mereka hidup dalam sistem administrasi jaringan labah-labah yang tertib dan teratur, yang sekaligus memberlakukan Declaration of Independence, Bill of Human Rights serta US Constitution secara konsekuen.
Amerika Serikat tidak membentuk sistem Pemerintahan Republik sentralistik seperti Perancis, karena terlalu luas, melainkan pemerintahan Federal atau Negara Serikat yang terdiri atas beberapa Negara Bagian (State) yang masing-masing tidak berdaulat. (Deddy Ismatullah et al.:2006:113) Yang berdaulat adalah gabungan dari negara-negara bagian itu, yaitu Negara Federal. Amerika Serikat tidak bicara Kekuasaan yang dimandatkan, melainkan menghimpun Kekuatan rakyat (people’s power) melalui Negara Bagian yang dalam Pemerintahan Federal diwakili oleh Senator masing-masing. Rakyat Amerika Serikat terbagi ke dalam dua kelompok gagasan Democrat dan Republic. Program Gagasan calon Presiden yang menang selama kampanye itulah yang digunakan sebagai program Pemerintahan Federal, sementara setiap Negara Bagian, karena otonom, mempunyai program Rumah Tangga sendiri-sendiri yang dilaksanakan oleh setiap Gubernur yang dipilih rakyat, dan oleh Walikota yang dipilih rakyat. Dengan demikian, setiap Negara Bagian/kota memiliki corak Pemerintahan sendiri yang dikehendaki rakyat, beraliran Demokrat atau Republik. Untuk urusan Angkatan Perang dan Keuangan ada di tangan Negara Fedeal. (ibid)
Seperti yang sudah disinggung di muka, Negara Federasi Amerika Serikat adalah Negara yang dikendalikan oleh sistem administrasi yang mirip dengan ’jaringan laba-laba’. Karena itu, Pemerintahan seorang presiden A disebut sebagai the administration of A yang beraliran Demokrat atau Republik. Dalam konteks Konstitusi Indonesia, setelah MPR ’diturunkan’ menjadi joint session antara DPR dengan DPD, dan UUD 1945 diposisikan sebagai Kekuasaan tertinggi Negara, siapa yang berhak mengamandemen bila diperlukan hal-hal yang menyangkut penyempurnaan Undang-Undang? Apakah beda manusia Indonesia masa kini dengan manusia Indonesia yang mengucapkan Sumpah Pemuda 1928; dengan manusia Indonesia yang mendeklarasikan Proklamasi 1945? Adakah manusia Indonesia masa kini menyadari, bahwa Mukadimmah UUD 1945 berdasarkan Pancasila, merupakan Pakta Sosial para Legislator sekaligus pendiri Republik, yang melangsungkan musyawarah dan mufakat bertahun-tahun dalam penindasan penjajahan? Mereka berupaya memandu moralitas Bangsa Indonesia ; mengarahkan masyarakat alamiah agar menjadi masyarakat politik (warganegara) dalam ‘penyerahan kebebasannya’ kepada Kekuasaan Negara Republik Indonesia (dalam bentuk Nasionalisme dan rasa Kebangsaan); serta mengendalikan perilaku setiap warga sebagai subyek dari Hukum Sovereinitas Republik Indonesia? Wilayah arkipelago Indonesia luas dengan pluralisme etnik. Indonesia perlu mencari sistem Pemerintahan alternatif dan sistem Ketatanegaraan yang lebih sesuai dengan kondisi geografis, demografis yang multi-etnik tersebut dengan tetap menggunakan payung Pancasila dan UUD 1945. Atau, menjalankan dan menyelenggarakan Pemerintahan Presidensiil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara benar dan konsekuen.
c. Lembaga Legislatif adalah vital bagi sebuah Negara. Sebagai perumus undang-undang, lembaga ini merupakan payung bagi dua lembaga lainnya. Kontrak Sosial Rousseau menyebutnya sebagai lembaga Soverein. Di Kerajaan Britania Raya, proses penyempurnaan pembagian wewenang Kekuasaan antara tiga lembaga Pemerintah telah berlangsung berabad-abad semenjak John Lock (legislatif, eksekutif, federatif). Namun demikian, Trias Politika dari negara asalnya, Kerajaan Britania, tidak sekaku Trias Politika versi Montesquieu: legislatif, eksekutif, yudikatif. Dalam proses demokratisasi, sesungguhnya, Partai perlu menyiapkan Kader-Kader dan Fungsionarisnya agar dapat berperan dan berfungsi sebagai Legislator berkualitas seperti yang diangankan Rousseau. Karena posisi Partai berada di antara Pemerintah dan Rakyat, maka Platform Partai perlu berangkat dari kepincangan kehidupan masyarakat, bukan terbatas pada Visi dan Misi para elitnya. Para Legislator Indonesia diharapkan memperbaiki undang-undang tentang kepartaian dan tentang Pemiihan Umum serta tentang kedudukan MPR/DPR/DPD/DPRD. (Moh. Mafhud:2008)
Dalam sebuah Negara, jumlah Partai secara ideal sebaiknya tidak melebihi jumlah jari satu tangan, yaitu lima. Dengan kondisi demikian, setiap Partai dapat bersifat otentik. Dampaknya, Rakyat dengan mudah dapat memilih Partai mana yang benar-benar mewakili aspirasinya. Dalam tubuh Lembaga Legislatif yang tidak terlalu ’beraneka warna’, Partai akan lebih mudah bekerja dan memposisikan diri sebagai Partai Pro Pemerintah atau Oposisi.
d. Lembaga Yudikatif adalah lembaga peradilan yang merupakan hati nurani sebuah Negara. Bagaimana praktek peradilan dijalankan di Republik Indonesia merupakan sebuah bukti, bahwa sesungguhnya pembagian Kekuasaan di Republik ini belumlah terselenggara dengan selayaknya. Baron Montesquieu (1689-1755), yang pernah tinggal di Kerajaan Inggris dari 1729-1731, menekankan betapa penting bagi lembaga Negara Yudikatif untuk berdiri sendiri agar Kekuasaan menghentikan Kekuasaan, dalam L’Esprit des Lois (1748). Dikatakan oleh Moh. Mahfud dalam tulisannya di koran Seputar Indonesia dalam rubrik Opini, Perubahan (Kembali) UUD 1945, bagian pertama dari dua tulisan, Alhasil, perubahan UUD 1945 sekarang ini sudah membawa kemajuan yang signifikan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Ada tiga hal penting yang perlu dipertanggungjawabkan oleh Prof Mahfud berkenaan dengan pernyataannya di atas, yakni kenyataan bahwa 1) Indonesia mempertahankan nilai-nilai yang ditanamkan para Pendiri Negara; 2) secara tidak langsung ia, mendukung pujian Jimmy Carter dan Anwar Ibrahim atas keberhasilan Indonesia sebagai Negara Muslim terbesar membangun demokrasi dengan pesat pasca Reformasi 1998; 3). Presiden dan DPR saat ini sudah diposisikan secara sejajar.
Kesimpulan
Dalam konteks perbaikan dan penyempurnaan kehidupan sosial dalam bernegara, yang perlu dilakukan, adalah mengembalikan fungsi Lembaga Tertinggi Negara yang mewakili Kekuasaan Negara sebagai wadah kebersamaan etis yang berkedaulatan Rakyat; menyempurnakan sistem Tata Negara Presidensiil dalam konteks Nusantara sebagai wilayah Maritim; memperbaiki sistem penetapan calon Presiden sebagai Kepala Negara yang sekaligus Kepala Pemerintahan Republik Indonesia, mandataris MPR serta Panglima Besar Tentara Nasional Republik Indonesia; memperbaiki undang-undang tentang Kepartaian dan tentang Pemilu; memperbaiki peran dan fungsi Sekolah sebagai lembaga pendidikan dan latihan Generasi Penerus.
Oleh karena itu, jangan hendaknya Bangsa Indonesia meninggalkan dosa kolektif kepada Generasi Penerus, dengan menelantarkan Pakta Sosial Bangsa dalam Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah cita-cita dan angan-angan seluruh bangsa-bangsa Nusantara/Bangsa Indonesia, yang masih dalam proses perwujudan sebagai wadah kebersamaan, tempat berlindung serta mencari nafkah. Cita-Cita Proklamasi 1945 adalah Rakyat merdeka dan sejahtera. Bagi mereka yang dipercaya menerima amanah Kekuasaan, hendaknya mempertahankan kehormatan itu, karena Kekuasaan yang diselenggarakan secara keliru, bisa menjadi bumerang, utamanya ketika kehidupan Generasi mendatang akan lebih menderitadaripada kehidupan sekarang. Bilamana para Pendahulu Republik Indonesia bisa memerdekakan, mengapa Generasi mendatang harus terbelenggu dan terjerat leher oleh ulah Generasi sekarang?
Penutup
Kekuasaan Negara Republik Indonesia perlu diselenggarakan sebaik-baiknya oleh Pemerintahannya, dengan catatan, genesis Konstitusi UUD 1945 perlu dipelajari kembali dengan merujuk kepada teori-teori politik yang kiranya dulu dipakai sebagai rujukan oleh para pendiri Negara Republik Indonesia demi tercapainya cita-cita Proklamasi 1945. Semoga...
Menurut saya tulisan ibu yang ini lebih mengarah pada format akademis, bukan format yang untuk umum. Sedangkan seyogyanya tulisan-tulisan yang ibu muat di Blog sebaiknya memakai format untuk umum saja agar lebih mudah dipahami dan dimengerti.
BalasHapus