Senin, 02 Maret 2009

BELA NEGARA DARI SISI SOSIAL BUDAYA

Pendahuluan
Gagasan Bela Negara dari sisi sosial budaya, terinspirasi dari sebuah buku khusus tentang kartupos yang dikirim oleh orang-orang Belanda yang bermukim atau sedang berlibur di Hindia Belanda (nama wilayah perairan Nusantara atau Indonesia di era penjajahan Pemerintah Otonomi Hindia Belanda), untuk sanak saudara, dan kerabat mereka yang tinggal di Nederland di awal abad 20. Jumlah kartupos yang dipublikasikan sebanyak 500 ratus buah. Tema dari gambar yang menghiasi seluruh kartupos tersebut, ialah mengenai seluk beluk sosial-budaya, kondisi alam dan lingkungan Hindia Belanda dalam bentuk gambar atau potret, bahkan lukisan terpampang pada sisi kartupos. Begitu besar ketertarikan Bangsa Belanda terhadap sosial budaya tanah jajahannya. Oleh karenanya, di era itu, segala hal yang berbau Hindia Belanda menjadi populer di kalangan orang Belanda yang hidup di sebuah Kerajaan kecil di sebelah Barat Daya benua Eropah, dari rijs-tafel (nasi dengan lauk-pauknya) sampai artefak Nusantara (ribuan jumlahnya di Tropen Museum, Amsterdam).
Pemandangan indah pada kartupos sebanyak 500 ratus buah tersebut, menimbulkan rasa kagum dan haru akan indahnya Nusantara bila tertata rapih, meski miskin dan sederhana, tidak ada Mall dan bangunan bertingkat; tidak ada jalan tol dan mobil mewah; indahnya rumah adat yang tampak anggun, terlebih anggun bila dibandingkan dengan perumahan baru di kawasan Cibubur yang meniru pelbagai bentuk arsitektur asing, atau rumah besar-besar berkaca dan bertiang raksasa, penyangga serambi depan yang dibangun tanpa makna. Atau, rumah berdempet-dempet tanpa sistem kekerabatan yang jelas tidak seperti Rumah Panjang di Kalimantan, atau Rumah Bagonjong di Minangkabau dan sebagainya.
Akan tetapi, bila memandang manusia yang terlihat lalu lalang dengan kaki telanjang, tanpa sandal jepit; yang bekerja sebagai buruh perkebunan, jongos restoran, penari ledek jalanan, peminum madat (opium), dan lain sebagainya, tepatlah bila dititipkan amanah “pencerdasan kehidupan bangsa” di dalam Mukadimmah Undang-Undang 1945 oleh para perintis Kemerdekaan.
Tahun ini, Bangsa Indonesia memperingati seratus tahun Kebangkitan Nasional. Muncul jargon baru: INDONESIA BISA. Persoalannya adalah, bukan saja kebisaan Indonesia itu harus jelas ruang lingkupnya, tetapi juga harus jelas maksud dan tujuannya. Simbol dari Indonesia Bisa digelar di Stadion Senayan pada tanggal bersejarah itu, yaitu 20 Mei, dalam bentuk sebuah pagelaran spektakuler yang barangkali dimaksudkan untuk menunjukkan kebisaan Indonesia itu. Baiklah. Konon pagelaran itu memang luar biasa untuk ukuran Indonesia. Namun, seusai itu, apa? Bukankah “kebisaan” itu bak obor yang harus terus-menerus dinyalakan? Yang mana perlu didahulukan, obor atau apinya? Tentu saja kedua-duanya. Tanpa api, obor bukanlah obor, tanpa obor api akan padam. Demikian juga arti bela negara. Bela adalah api semangatnya, negara adalah obornya. Kebisaan Indonesia baru akan terwujud dalam bela negara. Tanpa bela negara, boleh jadi Indonesia tidak bisa..apa-apa.
Dalam kaitannya dengan Hindia Belanda 100 tahun lalu, kekinian Indonesia adalah 100 tahun kemudiannya Hindia Belanda, bila tanpa Kemerdekaan. Kenyatannya, Kemerdekaan itu ada. Adakah ia membawa apa-apa? Survey membuktikan belum apa-apa. Masih banyak kemiskinan, kebodohan, kemerosotan akhlak, narkoba, dan sebagainya. Lalu, dimana kebisaan Indonesia supaya terjadi apa-apa? Tentu saja dalam Bela Negara. Bela Negara diawali dengan tekat (api) dan dilanjuti dengan komitmen (obor). Tekat dan Komitmen merupakan indikator Bela Negara agar Indonesia Bisa apa-apa.

Jakarta, 23 Juli 2008
DR Dri Arbaningsih SS Mphil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar